01|Dua bintang terang kesayangan Angkasa.

187 21 9
                                    

Katanya setiap anak terlahir suci, lantas ada apa dengan kehidupan yang aku jalani sekarang? Apa dosa yang aku bawa hingga hidup ini terasa menyakitkan?

Rinji Dean Angkasa, remaja berumur 16 tahun itu masih tak mengerti bagaimana sebenarnya takdir akan membawanya berakhir. Rin tak paham bagaimana untuk terus bertahan dengan kondisi yang menyedihkan sepanjang hidupnya ini. Dia selalu bertanya tanya kesalahan apa yang Rin lakukan hingga hidup bisa begitu tajam padanya.

Untuk sekedar berbagi beban, Rin tak punya tempat yang benar-benar bisa membuatnya leluasa bersandar. Dia tak punya tangan dan pundak yang siap merengkuh dan membantunya bangkit.

Yang bisa dikatakan rumah nyatanya tak pernah benar-benar Rin bisa jadikan tempat pulang. Kenapa hangat rumahnya tak pernah sampai direlungnya?

Dari mereka yang disana, Shei dan Reiji adalah satu-satunya yang bisa jadikan tempat singgah. Rin tak berani menjadikan mereka sebagai tempat beradu dan berkeluh kesah, ataupun tempat yang bisa dia sebut rumah. Karena jika itu dia lakukan, maka Papa dan Mama pasti tidak akan pernah rela, jika mereka menjadi ikut terbebani oleh berat luka yang Rin bawa.

Rin memandang senja diatasnya. Matanya menangkap selebar-lebarnya angkasa di cakrawala. Tatapannya seolah mempertanyakan apa Rin benar-benar sanggup bertahan lebih jauh? Apa hidup seperti ini pantas Rin dapatkan, kala dia sendiri tak tau letak salahnya berada di dunia?

"Udah dari tadi?" tanya itu terlontar diiringi satu tepukan dari belakang menyapa punggungnya.

Rin menoleh dengan segera. Tepat didepannya, lelaki bermata bulat dengan simpul senyum tak berdosa itu, berjalan menuju motor yang ada didekat Rin, dari beberapa motor lain yang tersisa.

"Ya, lumayan," jawab Rin.

Lelaki itu mengangkat dua jari membentuk huruf V, lalu merenges dan menaiki motornya.

" Ya udah, yok!" ajaknya.

Rin tidak kaget dengan sikapnya. Sungguh bukan hal baru lagi bagi Rin untuk menghadapi sikapnya yang kadang menyebalkan dan suka telat dalam segala hal.

Begitu pula sebaliknya, lelaki itu juga tidak pernah mempermasalahkan sikap Rin yang sering berubah-ubah. Kadang bisa begitu pendiam dan dingin, kadang bisa juga jadi begitu cerewet, yang bahkan Rin tak bisa pahami dirinya sendiri.

"Bang Rei, " panggil Rin yang membuat lelaki itu langsung menoleh, "lo pulang duluan aja, gue mau pergi sendiri dulu. Dari tadi gue nelfon lo sebenarnya, tapi nggak lo angkat. Jadi gue nunggu lo cuma mau bilang gue ada urusan dulu, nanti malam kalo gue nggak pulang gue kabarin."

Rei mengerutkan keningnya, raut bingung itu tak bisa dia sembunyikan dari wajahnya. Lantas Rei mematikan mesin motornya yang baru beberapa menit lalu dinyalakan, memastikan telinganya tak salah dengar akibat suara bising knalpot motornya. Rei, turun dari motor, seolah dia menuntut penjelasan lebih lanjut pada Rin.

"Gimana? Hah?"

Rin tak membalas tatapan mata Rei yang tertuju padanya dengan intens. Rin justru menarik resleting hoodienya sampai atas, menutup sempurna seragam sekolah yang berwarna putih itu.

"Gue ada urusan. Lo pulang duluan," singkat Rin.

"Lo mau kemana? Urusan apa? Lo mau kerumah Papa lagi? Mama marahin lo pagi tadi? Atau dia nelfon dan ngomong yang nggak-nggak sama lo siang tadi? Apa yang gue nggak tau? " cerocos Rei merutuki Rin dengan berbagai pertanyaan.

Senja Kelabu [SLOW UPDATE ]Where stories live. Discover now