02| Langit Malam dan Sirius.

147 24 20
                                    

Dengan meminjam baju milik Shei, Rin akhirnya bisa berganti pakaian. Matanya dari tadi memandang foto- foto berukuran cukup besar tergantung didinding ruang keluarga.

Satu-satunya yang selalu bisa menjadi bahan ternyaman bagi mata Rin menjatuhkan fokus, ketika menyisir pandangan dirumah yang didominasi warna monokrom ini.

Dalam foto itu, ada  Papa bersama dia dan kedua kakaknya saat  berusia belia dulu. Harusnya didalam foto itu masih ada Mama, yang tepat berdiri menggenggam tangan Rei dan diposisi samping Papa yang merangkul Shei.

Nyatanya tak ada lagi sosok Mama disana. Mungkin  ketika mencetak foto itu Papa telah meminta pencetaknya untuk mengedit foto dengan menghilangkan presensi Mama. Mungkin juga sejauh itu Papa sudah tak menginginkan Mama, atau sebenernya begitulah cara Papa mencoba melupakan mantan istrinya? Rin tak tahu dan tak pernah tahu. Karena dia sungguh tak mau bertanya. Apapun itu, entah pada Mama atau Papa, Rin tak  pernah bertanya sesuatu yang kiranya akan menimbulkan masalah.

Karena sejatinya, Rin benar-benar menjadi sosok yang pendiam dan tak tersentuh saat dirumah. Jarang sekali dia terlibat konversasi panjang antara dia dan kedua orangtuanya.

Alasannya singkat, dia hanya tak mau kembali disalahkan, dan berdebat. Sebab, selama ini apapun yang Rin katakan akan selalu menjadi hal yang berseberangan dengan mereka. Jika Rin semakin menunjukkan ketidak setujuannya, maka disana akan semakin besar peluang luka yang dia terima.

Oleh karenanya, selama ini Rin hanya sanggup diam, menelan rasa sabar entah sampai kapan. Dia hanya berkata iya, dan tidak pernah mau membantah. Kalau pun ada kesalahan yang dia perbuat baik sengaja atau tidak, Rin tak akan ragu meminta maaf hanya karena dia tak ingin terlibat konflik yang panjang dan menyiksa.

Dengan melihat foto itu, Rin jadi rindu masa kecilnya. Meskipun dari dulu dia sudah merasakan ketidak adilan, tapi minimal dulu tak seburuk ini kondisinya. Yang sekarang jelas benar-benar buruk. Menerima fakta itu, Rin menggeleng dan terkekeh kecil menertawai nasibnya sendiri.

Lantas dia beralih pada foto yang juga tergantung disamping foto keluarga itu. Foto itu melihatkan Papa yang tersenyum penuh bangga merangkul Shei yang meringis dan memamerkan medali emasnya dalam balutan seragam putih abu-abunya.

"Jangan kebanyakan ngelamun!"

Rin terhenyak mendengar perkataan Shei yang datang dari arah ruang depan. Rin hanya tersenyum sesaat, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Abang nggak bisa masak, kamu tau itu. Jadi Abang pesan ini. Ayok makan malam dulu," ajak Shei sembari menenteng makanan yang dia pesan online dan baru saja diantar sepertinya.

Mereka berjalan menuju meja makan yang ruangnya menyatu dengan ruang keluarga. Diikuti adiknya, Shei mengambil piring dan gelas. Lalu kembali dan menyalin nasi yang juga ikut dia pesan tadi ke piring.

"Nih makan!"

Rin menerima uluran makan malam yang Shei berikan dengan ucapan terimakasih.

"Bang, kangen nggak masa itu?" Tanya Rin.

Kepalanya bergerak menunjuk ke arah foto keluarga yang tergantung disisi dinding ruang sana menggunakan dagunya.

"Kangenlah! Nggak nyangka kita bakal jadi sisa-sisa broken home. Meskipun dari dulu Abang nggak terlalu deket sama Mama, tapi rasanya tetep kehilangan pas harus pisah dengan Mama. Meskipun Abang dan Rei sering berantem, tapi kangen aja pas harus kepisah kayak gini. Mana kita semuanya udah sibuk masing-masing, jadi buat kumpul bareng walau sebentar itu sudah banget,"

Rin tertunduk, mendengar jawaban Shei. Ucapan itu terasa sesak sampai membuat Rin menarik nafas dalam-dalam.

"Sama," singkatnya.

Senja Kelabu [SLOW UPDATE ]Where stories live. Discover now