PROLOG

1.5K 55 2
                                    

Suara mesin menyatu saling menyahuti satu sama lain, detak jantung yang terdengar cukup jelas karena ruangan yang cukup sunyi tersebut. Mata yang tak berhenti melihat kesana-kemari menerima terangnya cahaya lampu yang menyinari perlahan membawanya ke alam sadar.

Sendiri, itu lah yang di rasakan Chaterinna saat pertama kali membuka matanya setelah 3 hari lamanya berbaring di atas kasur rumah sakit yang terasa amat dingin. Terasa angin sangat halus memasuki hidungnya, selang oksigen itu terpasang jelas dan lagi-lagi dia merasa kosong.

“Ck, capek begini terus, penyakitan, nyusahin.” Chaterinna menoleh perlahan kearah sumber suara dimana ada seorang perempuan paruh baya tengah berbicara seperti itu tanpa menoleh sembari memainkan ponselnya.

“Tante?” Chaterinna bersuara kecil.

“Udah sadar, kan? Saya banyak urusan. Besok langsung pulang aja, saya udah nggak ada uang lagi buat biayain rawat inap kamu. Saya udah miskin, makin miskin gara-gara kamu.” ujarnya lalu berdiri dan pergi meninggalkan gadis yang perlahan tersenyum tipis di hiasi rasa sedih di setiap gerakannya.

“Saya juga capek, kok. Saya mau sembuh kalau ada kesempatan untuk sembuh.” berbicara dengan nada yang sangat kecil karena tenggorokan yang ternyata terasa kering dan sedikit sakit.

Chaterinna melihat kearah jendela kamarnya, sedih bingung semua bercampur aduk. Bahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya saja kalah dengan isi kepalanya yang akan meledak itu. Kalau saja orang tuanya tidak pergi, lalu andai saja dia bisa kuliah, andai dan andai terus terulang di setiap kalimat dalam pikirannya.

Andai aja aku dulu banyak minum, istirahat yang cukup...

Tiba-tiba ada seorang laki-laki muncul di jendela kamar Chaterinna, baju yang di kenakan orang itu sama dengan baju yang di kenakan Chaterinna saat sini. Baju rumah sakit, berwarna hijau muda bermotif daun-daun kecil nyaris tak terlihat dan bisa menyerap dingin.

Orang itu mengepalkan tangan dan mengangkatnya seolah berkata 'Semangat' dalam diam. Chaterinna paham dia pun ikut mengepal tangannya dan mengangkatnya sedikit untuk orang itu.

Melambaikan tangan lalu pergi, sedikit loncat di setiap langkahnya seperti orang sedang kegirangan. Mungkin orang itu sudah sembuh dan di perbolehkan pulang oleh dokter, jadi tidak heran bisa se-girang itu.

He's lucky, he's happy. He succeeded, but not me.


























Say next to claim the next story  •>

BITE TO HEAL | LEE HEESEUNG Where stories live. Discover now