016.

364 37 10
                                    

Chaterinna mendudukkan dirinya di sebuah bangku yang sudah lusuh di pasar tempat biasanya setiap pagi dia datang untuk membantu sang tetangga berjualan. Tubuhnya mulai merasakan rasa lemas, bibirnya yang selalu pucat, kulit putihnya yang cukup kasar karena kering, dan tubuh yang  sangat amat mudah merasa lelah.

Terkadang kaki bagian kanan maupun kirinya cukup membengkak akibat penyakit yang di deritanya. Walau memang tidak akan sembuh dan mungkin hidupnya tidak berlangsung lama lagi. Chaterinna harap ibunya dapat hidup yang layak terlebih dahulu baru dia akan tidur dengan nyenyak.

"Kamu mau minum, nak?" Ucap sang ibu-ibu komplek di perumahan Tante Chaterinna dulu, alias ibu Litya.

"Boleh,"

Chaterinna pun segera di hidangkan segelas air hangat oleh ibu Litya yang memang sangat baik. Mata wanita bersurai panjang itu kini menelisik tempat jualan kue-kue jadul maupun kekinian ini sudah sangat lama ia tempati setiap pagi, selalu dirinya tidak lupa untuk membantu berjualan di sini. Walau upahnya tak seberapa, namun kebahagiaan dan ketenangan di sini hampir tidak ada bisa menandingi. Kecuali ibu dan Heeseung.

Omong-omong Heeseung, pria itu belum saja membuka suaranya sejak pagi. Terlihat jelas Heeseung tidak tidur dan terus berkutik dengan laptop nya sampai pagi, tentu saja mengurus pekerjaannya. Hari ini Heeseung tidak di rumah sampai sore, lagi-lagi untuk mengurus pekerjaannya yang sempat ia tinggali beberapa hari. Pria itu sungguh tidak mengajak bicara, bahkan untuk sekedar menyapa saja tidak.

Sepertinya Heeseung sungguhan marah kepadanya.

"Permisi, saya mau bolu kukusnya lima, ya." Pelanggan datang dengan setelan kemeja biru dengan dasi hitam yang rapih seperti akan segera pergi ke kantor dan menjadi karyawan teladan.

Chaterinna membulatkan matanya lalu segera mendekati orang tersebut lalu membungkuk sopan memberi salam. "Selamat malam, kak."

Laki-laki itu menyerit bingung dan menyadari jika orang di hadapannya ini adalah orang yang sama seperti waktu itu bertemu di depan warung. Benar, dia adalah istri orang gila itu, yang memeluknya sembarangan.

"Pagi? Kok, malem?" Sahutnya merasa lucu, padahal jelas matahari terlihat menerangi kota saat ini. Apanya yang mau di sebut malam?

Chaterinna langsung terkejut, "oh, iya pagi maksudnya. Hehe, maaf kak, saya eum.. perkenalkan saya Chaterinna, untuk kejadian yang di depan warung waktu itu mohon maafkan, teman—pacar?"

"Suami?"

"OH, IYA SUAMI SAYA!"

Jayden tertawa melihat tingkah wanita di depannya yang bergelagat aneh, ini memang mereka menikah karena cocok atau bagaimana? Dia jadi merasa heran.

Jayden mengangguk pelan, "iya gapapa, kok. Mungkin aja suami mba-nya Inget sama seseorang pas liat saya."

"Mungkin, kali aja Hees— SUAMI! saya ngiranya kaka temen dia dulu. Oh, iya, maaf kurang ajar, tapi suami saya masih penasaran sama kakak. Saya boleh minta nomor kakak? Setidaknya biar dia bisa pastiin juga." Jelas Chaterinna membuat Jayden mulai paham dan memakluminya.

Lagi-lagi laki-laki itu mengangguk, "boleh, nanti di catat aja nomor saya atau mau langsung di simpen aja di hp mba-nya?"

"Saya nggak punya hp, kak."

"Oh, yaudah di catat aja."

Chaterinna pun mulai mencatat nomor Jayden di sebuah kertas yang baru saja dia pinta ke ibu Litya beserta pulpennya. Setelah di pikir-pikir, mengapa Chaterinna sungguhan mengakui Heeseung sebagai suaminya? Jadi terdengar bodoh, haduh.

。⁠:゚⁠(Bite To Heal)゚⁠:⁠。

Kini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, mama sudah makan dan dia pun sudah tidur di kamarnya. Hanya ada Chaterinna di ruang tamu yang asik menonton Sinchan sambil memakan sebuah roti hangat yang sempat lewat di sekitar sini dengan terompet yang berbunyi begitu nyaring.

Heeseung kenapa belum pulang? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Chaterinna, apa dia sungguh marah kepadanya sampai-sampai tidak mau pulang? Atau Heeseung sengaja pulang malam agar saat datang, Chaterinna sudah tertidur lelap jadi tidak ada kesempatan untuk melihat wajahnya?

Klek.

Pintu terbuka menampilkan wajah datar Heeseung sambil membawa tasnya yang di dalamnya berisi berkas-berkas penting. Chaterinna berdiri dan berjalan mendekat kearah Heeseung yang tengah melepas sepatu dan kaus kakinya.

"Heeseung," panggil Chaterinna pelan masih memegangi roti hangat rasa keju di tangannya.

"Hm?" Heeseung berdeham sebagai jawaban tanpa ada niat menoleh sama sekali, karena memang dia tengah sibuk melepas kaus kakinya.

"Kenapa baru pulang jam segini?" Tanya Chaterinna namun tidak langsung di jawab oleh pria itu.

Heeseung malah menyelonong pergi ke lantai dua meninggalkan Chaterinna sendiri. Namun tentu saja, wanita dengan rambut panjang terikat satu itu mengikuti langkah Heeseung yang akan menuju ke kamar.

Saat Heeseung masuk ke dalam kamarnya, Chaterinna ikut masuk dan langsung menutup pintunya dengan hati-hati. Heeseung berjalan ke depan kamar mandi dan langsung membuka pakaiannya, baik baju hingga celana kerjanya.

Chaterinna duduk di tepi kasur sambil menatap punggung telanjang pria itu dengan kagum. Ternyata di punggung Heeseung terdapat bekas luka cukup besar, bentuknya seperti luka robek akibat cakaran. Tapi tidak mungkin, sepertinya akibat kecelakaan kendaraan atau yang lain.

"Gue mandi dulu." Ucap Heeseung lalu segera pergi mandi.

Chaterinna yang masih duduk di tepi kasur milik Heeseung memilih untuk menelisik satu persatu bagian dari kamar ini. Kardus berisikan tempat kantung darah itu sudah tidak ada, sepertinya sudah di buang oleh Heeseung. Kasurnya juga bersih seperti baru di ganti, ruangan yang beraroma Jasmine itu begitu menenangkan.

Karena asik melamun Chaterinna sampai tidak sadar Heeseung sudah mandi dan tengah memakai bajunya tepat di depan lemari besar milik pria itu. Chaterinna cukup terkejut dengan Heeseung yang sungguhan memakai baju di depannya seperti ini, namun mau bagaimana pun Chaterinna sudah melihat semuanya jadi untuk apa menutup mata atau berteriak?

Heeseung merapihkan handuknya lalu berjalan mendekat kearah Chaterinna dan segera duduk tepat di samping wanita itu. Keduanya berhadapan, saling menatap sebentar dan saling menunggu untuk membuka percakapan lebih dulu.

"Seung, maaf." Akhirnya Chaterinna yang membuka pembicaraan dan Heeseung tanpa ba-bi-bu langsung mengelus rambut sang wanita dengan lembut.

"Gue udah nggak marah, tapi serius, Chat. Gue beneran nggak sama sekali merasa terbebani, jangan mikir begitu." Jelas Heeseung pelan.

Terkadang rasanya Chaterinna melihat dua sisi dalam diri Heeseung. Pada saat pertama kali dirinya dan pria itu bertemu, Heeseung begitu kekanakan dan nada bicara nya pun sedikit kurang ajar lalu tentunya jahil. Namun di sisi lain, Heeseung juga bisa bersikap dewasa, dan mampu mendominasi kehidupannya dengan baik.

He's not a bad person.

"Seung,"

Heeseung mengangkat kedua alisnya, "kenapa?"

"I love you, too. maybe more than you? No, it should be."

Heeseung terkekeh kecil lalu setelah itu tangannya bergerak untuk mencubit telinga Chaterinna yang terasa dingin. "More than me? No you can't." Ejeknya.

Chaterinna mendekatkan dirinya pada Heeseung, pria yang memiliki kepekaan cukup baik itu tersenyum dan langsung menyatukan bibir mereka untuk saling menyapa.

"Let me in."

"I'll let you in, Seung."






















To be continued>>>>>>>>>>

BITE TO HEAL | LEE HEESEUNG Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum