Bab 1

99 4 0
                                    

Selalu ada pria yang menjadi topik pembicaraan wanita di tiap angkatan kampus. Salah satunya adalah Abimanyu. Pria berkulit hitam manis itu memiliki alis tebal, kumis lebat tertata rapi. Penampilan yang cukup menawan bagi perempuan di tahun 90-an saat itu. Ditambah lagi, laki-laki bernama Abimanyu itu sering dikait-kaitkan memiliki kemiripan oleh salah satu aktor ternama yang sedang digandrungi banyak wanita—Rano Karno.

Aku sendiri sejujurnya tidak terlalu memedulikan hal seperti itu. Hanya saja sejak pengumuman angkatan kami akan mengadakan acara malam keakraban di kampus, anak-anak jurusan Bahasa Indonesia yang didominasi oleh perempuan mulai membicarakan salah satu senior penanggung jawab kami yang berasal dari jurusan Matematika.

Antusias para gadis muda yang mulai beranjak dewasa itu pun tentu ditanggapi cibiran oleh para lelaki di jurusanku. Bahkan teman dekatku, Bimo pun terang-terangan mengatakan, "Ganteng dari mana se, Mas Abimanyu iku? Wong ireng kek ngono kok dibilang ganteng?"

Aku yang duduk di sebelah pria kurus berambut ikal itu langsung memukul punggungnya keras-keras sambil menahan tawa.

"Kiro-kiro lek gepuk wong iku ta, Ratih! Punggungku loh, loro," keluh Bimo yang kini terlihat sibuk menggosok-gosokkan tangannya di punggung, berharap rasa perih atau nyeri yang menjalar di punggung laki-laki itu mereda.

Aku hanya bisa tersenyum sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir, mengisyaratkan laki-laki di sebelahku untuk tenang karena dosen kami telah memasuki ruangan.

Akhirnya Bimo hanya bisa menggerutu kecil di menit-menit awal. Kurasa itu karena punggung laki-laki itu masih terasa sakit, tapi untunglah setelah itu ia kembali tenang saat menyimak materi yang dipaparkan oleh dosen.

Sepanjang dosen menjelaskan, hanya ada suara lantang laki-laki paruh baya di depan ruangan. Penjelasan tegas pria itu diselingi oleh suara kapur yang bergesekan dengan papan tulis.

Walau anak-anak jurusan Bahasa Indonesia sering terkenal sebagai kumpulan manusia aneh yang berisik, tapi saat dosen menjelaskan, kelas selalu tampak sunyi. Mahasiswa yang duduk di kursi kayu kebanyakan sibuk mencatat apa saja yang dibahas oleh dosen. Tapi jika kutolehkan kepalaku ke arah belakang, aku bisa melihat barisan anak yang mulai berbisik di mejanya.

Kurang lebih beginilah suasana kelas yang kulalui selama satu semester ini. Semoga saja anak-anak di belakang tidak tertangkap basah oleh dosen, mengingat beliau cukup mudah tersinggung pada hal-hal aneh dan sepele.

Setelah kelas selesai, aku dikejutkan oleh perempuan cantik berkulit kuning langsat, rambut hitam panjangnya tergerai indah yang mengenakan kemeja merah muda, dipadukan rok hitam panjang sebatas betis, dan sepatu pantofel yang tiba-tiba menghampiriku.

"Kenapa sih Ajeng, bikin orang kaget aja," ucapku.

"Eh, Ratih. Kamu ke kampusnya bareng kita aja ya? Aku males kalo cuma berdua ambek wong gendeng koyok Bimo iki," ujar Ajeng.

"Maaf Jeng, Bapakku orang'e susah dibujuk," sesalku. Bukannya tidak ingin berangkat dengan mereka, hanya saja Bapak pasti akan bersikap keras kepala untuk mengantarku ke kampus. Dibanding harus berdebat sama Bapak, lebih baik aku langsung menolak ajakan mereka, kan.

"Kon kalo males berangkat ambek aku yo, aku dewean ae, Jeng," Bimo tampaknya sedikit tersinggung dengan ucapan wanita di sebelahku ini.

"Guyon la Bim. Masa jadi cowok kok gampang marah." Ajeng tertawa kecil untuk mencairkan suasana di antara kami.

"Gak tuh, aku gak marah," ucap Bimo sambil tersenyum lebar, namun kedua matanya tampak melebar.

Aku hanya bisa tertawa melihat tingkah konyol sahabat-sahabatku.

***

Acara malam keakraban di kampus, sebenarnya hanya tradisi universitas yang terus dilaksanakan oleh kakak-kakak senior. Kegiatannya mungin tidak jauh berbeda seperti masa orientasi mahasiswa yang kami lalui saat baru masuk, hanya saja nuansanya sedikit lebih santai.

A Wife's MemorandumWhere stories live. Discover now