Bab 5

16 3 0
                                    

Menjalin hubungan dengan Abimanyu ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Laki-laki itu bahkan cukup populer di jurusan karena kepintaran yang ia miliki. Bahkan tak jarang kudapati perempuan sengaja mendekatkan diri pada Abimanyu untuk memudahkan tugas-tugas mereka. Buruknya lagi, Abimanyu selalu terlihat santai menanggapi itu semua, tanpa mau repot membatasi diri.

Aku tidak ingin dianggap sebagai wanita posesif, walau dalam hati aku sering kali merasa risih dan jengkel. Hanya saja, jika aku terlalu banyak menetapkan larangan pada pria itu, bisa-bisa Abimanyu langsung mengakhiri hubungan ini.

Cinta pertamaku terlanjur dimiliki oleh Abimanyu. Hubungan yang semula tidak pernah terpikirkan olehku karena terlalu sibuk dengan urusan sekolah, menjaga keponakan, dan terlibat dalam keributan sehari-hari yang ditimbulkan kakak-kakaku membuatku sempat tidak memikirkan hubungan serius antara pria dan wanita.

Sosok Abimanyu yang masuk secara perlahan dalam kehidupanku, membawa canda, warna baru pada keseharianku yang mulai terasa monoton. Perasaan senang, tergelitik ini mulai perlahan memenuhi hati serta pikiranku.

Setiap hari terasa bagai selembar kisah baru pernuh warna, sebab ada Abimanyu dalam tiap perjalanan yang kulalui.

Sayangnya, orang-orang di sekitarku tampak tidak menyukai fakta bahwa aku memiliki hubungan spesial dengan laki-laki itu. Walau sudah dua tahun berlalu sejak aku menjadi kekasih Abimanyu, teman-temanku saat ini pun masih sering mengungkapkan ketidak sukaan mereka pada pria itu. Seperti siang ini, ketika kami berbincang di lorong kampus usai menemui dosen pembimbing skripsi.

"Kon iku loh, sek gelem ae disuruh Mas Abimanyu buat mengetikkan skripsinya," omel Bimo.

"Ya kan sekalian, Bimo. Cari pinjaman mesin ketik itu susah," sahutku. "Lagipula, kamu lihat sendiri, kan, kalau skripsiku juga sudah hampir selesai."

"Ya tapi kan tidak harus mengerjakan skripsi dia, Ratih." Ajeng tidak bisa menyembunyikan ketidak sukaan pada apa yang kuperbuat.

Kurangkul bahu wanita kemeja biru muda di sebelahku. "Ayolah Ajeng, seenggaknya aku ingin lulus bersama Mas Abimanyu. Kalau dia sampai cuti lagi hanya karena alasan cari uang, bisa-bisa pernikahanku akan semakin diundur."

Kudengar Bimo terbatuk-batuk setelah mendengar perkataanku. Bahkan minuman yang ditenggaknya sempat tersembur keluar. "Kamu bilang opo, Ratih? Menikah?!"

Kuanggukkan kepala sembari menatap mata hitam Bimo yang telah menatapku dengan mata membulatnya.

Kurasakan sebuah tarikan kencang di lengan. Ternyata itu Ajeng. Raut wajahnya pun semakin tidak karuan setelah mendengar apa yang kuucapkan.

"Pokoknya gak boleh! Gak boleh! Memang tidak ada lelaki lain di bumi ini yang bisa kamu nikahi?" omel Ajeng. "Aku bisa mengenalkanmu puluhan, bahkan ratusan pria lebih baik daripada Mas Abimanyu itu!"

Aku tersenyum menanggapi hal tersebut. "Aku tahu, kalian mungkin bisa mengenalkan ribuan pria baik untukku. Hanya saja, hatiku terlanjur jatuh ke pelukan Mas Abi."

"Rat!" bentak Ajeng yang langsung membuatku meletakkan jari telunjuk ke depan bibir.

"Sudah kubilang, jangan panggil aku begitu. Aku tidak ingin disamakan oleh seekor tikus," ucapku sedikit kesal.

"Kamu memang tikus! Tikus bebal!" Setelah berucap ketus begitu, Ajeng langsung pergi, tanpa mau berpamitan padaku.

Bimo terlihat menghela napas lelah. "Mengertilah Ratih, Ajeng memang seperti itu. Dia hanya terlalu sayang padamu. Kamu sudah seperti saudara perempuan sendiri baginya."

Kuanggukkan kepalaku. Kuakui, aku sangat mengerti kekesalan yang bersarang di hati orang-orang terdekatku, terutama Ajeng.

Mereka yang mengenal sosok Abimanyu pun selalu memberikan respon tidak jauh berbeda dari sahabat-sahabatku. Orang-orang itu secara tersirat memintaku untuk menjauh, atau menyudahi hubungan ini. Karena sosok Abimanyu terkenal suka memacari beberapa gadis diwaktu bersamaan, bahkan beberapa di antaranya selalu wanita-wanita berkantung emas.

Hanya aku yang mengetahui bagaimana kami menjalani hubungan ini. Mungkin di masa lalu, ia bukanlah lelaki yang bisa memegang komitmen. Namun, saat menjalin kasih denganku, Abimanyu selalu ada di sisiku. Pria itu bahkan tidak menghadiri kelas yang tidak ada dalam jadwal kuliahnya hanya demi mendekati wanita lain. Laki-laki itu juga selalu mengantarku pulang, sekali pun hari itu ia tidak memiliki jadwal ke kampus.

Aku yang menyadari perubahan positif Abimanyu pun percaya, pria itu akan menjadi sosok luar biasa, setelah menikah. Ia akan jadi suami, serta sosok ayah yang baik bagi anak-anaknya kelak. Pandangan laki-laki itu mengenai dunia sangatlah luas. Ia pasti bisa membimbingku dengan baik untuk mengarungi dunia.

Kurasakan sebuah tepukan di bahuku. "Aku mau pulang. Kamu mau kuantar atau ..." ucap Bimo yang menunggu keputusan dariku.

"Aku naik bemo saja, Bim. Ada hal yang mau kuurus sebelum pulang."

"Tidak mau kuantar sekalian? Aku bawa dua helem loh, Ratih."

Aku menggeleng, lalu menepuk-nepuk punggung lelaki itu. "Pulanglah. Aku hanya ingin ... berangkat sendiri," ucapku sambil tersenyum kecil.

Menyadari isyarat kecil yang kuberikan, Bimo langsung mengangguk. "Hati-hati di jalan Ratih. Kalau sudah selesai jangan kebanyakan mampir, loh. Soalnya kamu kan mengerjakan dua skripsi."

Aku hanya bisa tertawa kecil menanggapi ucapan sarkas Bimo.

Laki-laki itu pun melambai saat langkahnya perlahan menjauh dari tempatku. Aku pun balas melambai sampai sosok itu tak terlihat lagi dari pandangan.

Sebelum meninggalkan kampus, aku mengecek ulang barang bawaan. Setelah memastikan tidak ada barang yang hilang atau tertinggal, aku langsung melangkah ke luar kampus.

Sepanjang langkah yang kutempuh, banyak hal mengganggu pemikiranku. Berbagai pernyataan mengenai hubungan percintaan menjadi topik besar yang memenuhi benakku.

Apa hubungan percintaan selalu serumit ini? Padahal aku dan Abimanyu sama-sama bahagia menjalani hubungan ini. Pria itu bahkan tidak pernah membentak, atau melakukan kekerasan padaku. Kenapa semua orang tampak tidak bisa turut bahagia, atas apa yang kurasa.

Menyedihkan, namun aku tidak ingin menyerah pada hal remeh. Selama aku bahagia, aku akan terus memperjuangkan hubungan ini. Walau ribuan orang di luar sana menentang, aku tidak akan melepas Abimanyu. Hanya pria itulah yang mampu mendatangkan sejuta tawa dan bahagiaku.

***

A Wife's MemorandumWhere stories live. Discover now