Bab 4

16 3 0
                                    

Saat ini aku dan mahasiswa lainnya disibukkan oleh aktivitas persiapan ujian semester. Di tengah kesibukan itu, entah kenapa aku jadi lebih sering menjumpai Abimanyu di kampus.

Entah ini hanya firasat semata, tapi tiap kali berada di kawasan kampus, kami selalu berpapasan, bertegur sapa. Bahkan di siang yang terik ini, ketika aku menunggu bemo di depan kampus. Lagi-lagi pria kuli sawo matang itu menyapaku.

"Ratih, mau pulang ya?"

"Iya Mas," jawabku sambil mengangguk kecil.

"Tumben gak bareng Ajeng atau dibonceng Bimo," ucap Abimanyu yang kini telah berdiri tepat di sebelahku.

"Bimo ada urusan lain setelah kelas, Mas. Kalau Ajeng mau belanja, katanya."

Kulirik, laki-laki di sebelahku ini hanya menganggukkan kepala.

"Mau makan bakso gak, Ratih?"

Pertanyaan spontan itu tentu membuatku terkejut. "Makan bakso?"

"Iya, yuk!" Abimanyu langsung menggandeng tanganku, tapi karena gerakannya terlalu mendadak, aku langsung menepis tangan pria itu.

"Maaf Mas, besok sudah ujian, jadi saya harus segera pulang dan belajar," tolakku.

Bukannya merasa tersinggung dengan penolakanku, pria itu malah tersenyum lebar. "Justru karena besok sudah ujian, jadi hari ini kita harus bersenang-senang, kan?"

Aku hanya terdiam, memandang penuh selidik ke arah pria kemeja putih gading di sebelahku.

Laki-laki itu mengangkat kedua tangan sambil berkata, "Aku janji tidak akan pegang-pegang kamu sembarangan. Oke?"

Kuhela napas panjang. "Bukan itu masalah sebenarnya, Mas. Saya hanya tidak enak hati. Bila saya menerima ajakan Mas Abimanyu, nanti orang-orang mengecap saya dengan istilah aneh-aneh."

Wajah yang semula tersenyum itu kini tampak kebingungan. "Maksudnya?"

"Bukankah Mas Abimanyu sudah punya pacar? Saya tidak ingin dianggap sebagai perebut kekasih orang," tuturku.

Saat itu pula tawa besar laki-laki berkulit sawo matang ini terdengar. "Pacar? Kekasih?"

Aku mengangguk kebingungan memandangi Abimanyu yang perlahan tawanya mulai mereda.

"Tidak ada, tuh. Kalau masih ada pun, aku tidak akan mengajakmu makan bakso, kan, Ratih?" ucap laki-laki yang masih menyisakan tawa di ujung bibirnya. "Aku janji, rasanya tidak kalah enak dengan buatan koki ternama di hotel-hotel."

"Memang Mas Abimanyu pernah ke hotel?"

"Tentu belum," ujarnya diselingi tawa. "Tapi bakso ini benar-benar bisa membuat ujianmu bagus karena rasanya yang enak. Perasaanmu pasti langsung bahagia ketika memakan bakso ini."

Mendengar ucapannya yang menggebu-gebu ini, tawaku akhirnya terpancing keluar. Aku tidak bisa mengabaikan semangat pria yang mempromosikan bakso kesukaannya ini padaku.

Bakso yang membuat nilai ujian bagus, katanya. Ada-ada saja laki-laki ini. aku tidak menyangka kalau Mas Abimanyu memiliki sisi konyol seperti ini.

"Baiklah kalau begitu, Mas."

Begitu aku menyetujui ajakan lelaki itu, senyum lebar langsung tercetak jelas di bibirnya.

***

Lokasi tukang bakso yang disebutkan oleh Abimanyu ini tidak terlalu jauh dari kawasan kampus kami. Jadi untuk menghemat biaya pengeluaran, kami memutuskan untuk berjalan sembari bercakap-cakap.

Terik matahari Surabaya, seakan tidak menghentikan niat orang-orang untuk menyantap hidangan berkuah panas ini.

Setibanya kami di lokasi, aku melihat beberapa pemuda, ibu-ibu beserta keluarga, tampak asik menyantap hidangan olahan daging yang dari aroma kaldunya saja, sudah sangat menggugah selera.

Untunglah saat kami sampai, ada seorang ibu dan anak yang telah menyelesaikan makan mereka. Jadi Abimanyu bergegas menyuruhku duduk di tempat itu, sementara ia memesan.

Tempat makan bakso yang tidak begitu luas, membuat uap kaldu yang keluar dari dandang besar itu mengelilingi tempat ini. Meja-meja kayu panjang tersusun di tepi-tepi warung. Di atasnya terdapat tempat sendok dari bahan plastik, botol-botol saus dan kecap yang disusun berjarak beberapa pupuh senti.

Kuperhatikan dari beberapa pelanggan yang menikmati santapan, mereka tampak puas, bahkan ada beberapa di antara mereka tampak santai berbincang sambil memakan semangkuk bakso.

"Aku pesan bakso sama es teh manis. Tidak masalah kan, Ratih?" ucap Abimanyu yang kini telah duduk di sebelahku.

Aku mengangguk. Kurasa perpaduan bakso yang panas dan dinginnya es teh manis terasa sempurna. Sebagian besar pelanggan di sini pun memesan menu serupa.

Kupikir ini hanyalah ajakan makan siang biasa antara junior dan senior. Namun tidak pernah kusangka bahwa obrolan, serta hubungan kami semakin berkembang. Hingga saat semester baru dimulai, aku dan Abimanyu sudah berada dalam hubungan romantisme yang diam-diam sangat kuimpikan sejak lama.

***

A Wife's MemorandumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang