Bab 15

8 1 0
                                    

Di saat-saat terberat berumah tangga, aku berusaha selalu mengingat nasehat Ibu.

Setelah aku bersikeras menikah dengan Abimanyu, mengikuti laki-laki itu merantau ke Jakarta, mengeluh permasalahan rumah tanggah pada Ibu dan Bapak adalah hal yang tidak pantas.

Ini pilihanku, ini hidupku. Ibu sudah menekankan padaku untuk tidak menyesali pilihan ini. Karena mau bagaimanapun, menikah hanya sekali seumur hidup. Kalau bisa, jangan ada pernikahan kedua, apalagi ketiga.

Aku sudah berusaha semampuku menjaga pernikahan ini. Menjadi istri penurut dan mencoba menyokong keuangan suami dengan bekerja.

Hasil yang kudapat memanglah jauh dari sempurna, apalagi keinginan. Meski sudah mencoba bersabar menghadapi segala macam tingkah Abimanyu, hatiku tetap hancur tiap kali mendapati pesan tak senonoh pada ponsel genggamnya.

Bahkan wanita bernama Yuni ini tampak menikmati dalam menjalani hubungan terlarang ini. Terlihat dari pesan mesra yang ia kirimkan pada Abimanyu.

Bukan satu atau dua tahun kami menjalani kehidupan rumah tangga. Abimanyu masih saja tidak menunjukkan perubahan ke arah sifat yang lebih baik.

Aku sempat menyalahkan diri. Apa ini semua karena Abimanyu merasa kurang dapat perhatian dariku? Atau ini bentuk kekecewannya terhadap aku yang tidak bisa memberi keturunan lebih setelah Alina.

Padahal sudah jelas, kami sudah memeriksakan kesuburan bahkan menjalankan beberapa pengobatan herbal untuk membuat Alina memiliki adik.

Sayangnya, saat Alina dengan lantang menyatakan kalau ia tidak menginginkan adik sama sekali dalam hidupnya, semua usaha yang kami kerahkan untuk memiliki anak ketiga berakhir sia-sia.

Semua kawan suami telah menyatakan, jikalau sang anak sudah terang-terangan menyatakan tidak ingin memiliki adik, maka usaha apa pun yang kami kerahkan tetap tidak akan membuahkan hasil, sampai Alina sendiri yang menyatakan keinginannya untuk memiliki adik.

Namun jika itu semua karena takdir yang tidak mengizinkanku merawat dua anak sekaligus, mengapa sampai Abimanyu memutuskan untuk mendua? Apa ia tidak memikirkan perasaanku? Perasaan Alina, jika gadis itu mengetahui fakta buruk ini, mengenai papanya mencintai wanita selain istri dan anak.

Aku tidak ingin Alina terluka. Tidak pula ingin orang tuaku mengetahui kesulitan hidup yang telah kuperjuangkan dengan keras kepala. Tapi hatiku begitu hancur begitu mengetahui fakta ini.

Ya Tuhan ... kenapa kehidupan pernikahanku seberat ini? Apa ini hukuman yang harus kuperoleh setelah menentang keinginan kedua orang tuaku?

Aku hanya bisa menangis dalam sunyi tiap malam, ketika Alina dan Abimanyu telah lelap dalam tidurnya. Atau ketika Abimanyu beralasan ada kerjaan yang membuatnya harus pulang keesokan harinnya.

Mas Abi ... kuharap perselingkuhanmu tidak berjalan lama. Jangan torehkan luka mendalam pada putri kecil yang telah kita jaga selama bertahun-tahun. Jangan biarkan perselingkuhanmu menjadi trauma besarnya saat Alina harus tumbuh dan mencari cintanya sendiri.

Kehidupan Alina yang penuh kebahagiaan adalah impian terbesarku. Jangan pernah biarkan Alina sampai mengetahui pengkhianatan dan rasa sakit ini. Cukup aku saja yang memendam semua luka yang ditorehkan Abimanyu. Alina cukup mendapat sosok Papa yang selalu ada untuknya dan mampu memenuhi semua keinginan gadis kecil itu.

"MAMAAAA!"

Jeritan Alina di tengah malam berhasil mengejutkanku.

Malam ini hanya ada kami di rumah. Sementara Abimanyu mengatakan kalau ada kapal yang harus ia isi minyaknya, jadi malam ini ia tidak di rumah dan mungkin baru kembali esok siang.

"Kenapa Sayang?" Kuhampiri putri kecil yang biasa tak pernah menangis di tengah malam sejak usia 3 tahun. Entah mengapa kali ini, saat usianya hampir 12 tahun, ia malah menangis di tengah malam.

"Tiiikuuuussss ....." tangis Alina pun semakin kencang. Ia yang semalam memutuskan untuk tidur beralaskan karpet karena merasa bosan dengan kasurnya pun kini menangis kencang.

Saat kunyalakan lampu, baru kudapati jari telunjuk kanan alina berdarah. Lukanya cukup dalam hingga darah itu mengalir sampai ke pergelangan tangannya.

"Jarinya kenapa bisa sampai begitu, Alina?" ucapku penuh khawatir.

"Digigit tikus ... tadi tikusnya lari," jelasnya di tengah isak tangis yang semakin menjadi.

Buru-buru kuambil kotak P3K dan membersihkan luka Alina menggunakan alcohol agar lukanya tidak infeksi.

Sempat terbesit untuk membawanya segera ke dokter. Namun mengingat jam sudah meninjukkan 1 malam, rasanya mustahil menyebrangi jalanan besar di waktu semalam ini. Apalagi tidak ada sosok lelaki yang menemani perjalanan kami.

"Besok kita ke dokter ya, ini Mama bersihkan dulu lukanya. Nanti biar dilihat sama dokter lagi ya, Alina."

Aku berusaha menenangkan Alina, tapi gadis itu tampak masih terlalu takut setelah mendapati fakta bahwa jarinya hampir menjadi camilan malam tikus yang menyusup masuk ke dalam rumah.

Malam yang semula tenang dan diliputi kesedihan. Kini berganti menjadi kegelisahan setelah melihat Alina menangis sampai membuatnya kesulitan bernapas.

***

A Wife's MemorandumWhere stories live. Discover now