Bab 8

12 2 0
                                    

Sejak tinggal di kawasan Sritanjung, Sidoarjo, tepatnya seminggu akhir-akhir ini, aku sering dikunjungi oleh anak-anak Mbak Trisna.

Mungkin karena di rumah mereka lebih sering tidak ada orang pada jam pulang sekolah seperti ini. Kebetulan pula, rumah Mbak saat ini tidak terlalu jauh pula dari rumahku. Reza dan Dimas jadi sering mampir ke rumah. Entah untuk makan siang atau sekedar mengerjakan tugas.

Semula, aku senang mendapat kunjungan rutin kedua ponakanku yang kini sudah beranjak SMA. Mereka kerap kali membantuku menjaga Alina saat harus mengurus pekerjaan rumah. Namun, beberapa keanehan mulai terasa.

Akhir-akhir ini, saat aku masuk ke kamar mandi, aku sering mencium aroma menyengat khas hasil pembakaran tembakau.

Satu-satunya yang merokok di keluargaku hanya Abimanyu. Jadi aku menasehatinya untuk tidak lagi sembarangan merokok di kamar mandi. Mengingat bau tembakau itu lama terjebak di dalam, menyulitkanku untuk memandikan atau sekedar membasuh tubuh putriku dari kotoran.

Sayangnya, sampai siang ini pun suamiku selalu mengelak kalau ia tidak pernah merokok di kamar mandi. Padahal jelas-jelas aku pernah menemukan bekas puntung rokok di dekat saluran pembuangan.

"Sudah Papa bilang, Ma ... Papa itu tidak pernah merokok di dalam rumah. Alina masih bayi, kan? Mama tahu sendiri, Papa lebih sering merokok di luar rumah atau teras depan saat Alina tidur," ungkap Abimanyu.

"Ya terus siapa, Pa? satu-satunya perokok di rumah ini kan hanya Papa," ujarku.

Kulihat Abimanyu melirik ke arah jam dinding yang tergantung di ruang tamu. "Reza sama Dimas sebentar lagi pulang, kan?"

Aku mengikuti arah pandang laki-laki itu, lalu kembali memandangnya dengan sorot bertanya-tanya. "Iya, kenapa memang?"

"Langsung bawa mereka ke ruang tamu begitu Reza dan adiknya sampai. Aku akan ke dapur untuk mempersiapkan bahan-bahan jualan, jadi jangan lupa beritahu aku, ketika mereka tiba."

Setelahnya, kulihat suamiku langsung beranjak ke dapur. Walau wajah laki-laki itu tidak menunjukkan ekspresi khusus, mengenai permintaan mendadak ini, tapi aku seperti dapat menyimpulkan suatu hal. "Kuharap ini tidak seperti yang kupikirkan," gumamku yang kini mencoba untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

***

Suara sepeda motor yang akhir-akhir ini terasa akrab di telinga mulai terdengar. Aku yang sedang menemani Alina bermain di teras depan pun, bisa melihat gadis kecil itu tampak mulai antusias.

"Assalamualaikum, Tante," ucap mereka kompak, setelah Reza memarkirkan motor di depan rumah.

"Walaikumsalam. Langsung ke ruang tamu ya, Reza, Dimas. Nanti Tante buatkan teh manis untuk kalian," ujarku sambil bangkit, kemudian membawa Alina masuk yang langsung disusul oleh dua keponakanku.

Sesampainya di dapur, aku langsung menyenggol Abimanyu, memberi isyarat padanya, kalau anak-anak yang ia tunggu sudah tiba.

Setelah membersihkan kedua tangan, suamiku langsung berjalan menuju ruang tamu.

"Kuharap Mas Abi tidak memarahi mereka terlalu keras," gumamku. Mengingat bagaimana pertengkaran suamiku dengan ibu mereka dulu, aku jadi bisa mengetahui sifat keras Abimanyu yang dibawa dari kehidupan rumahnya dulu.

Saat awal-awal menikah, aku beberapa kali menginap di kediaman ibu mertua. Cara orang-orang di rumah itu berbicara cenderung keras, terkesan seperti orang marah, padahal hanya melakukan percakapan biasa.

Itu sedikit bertentangan dengan keluargaku. Di mana ketika Ibu mendapati salah satunya berbicara dengan nada tinggi, apalagi membentak, Ibu akan langsung memukul atau memarahinya.

Ya ... walau sudah melakukan hal seperti itu, Mbak Trisna dan Mas Eko masih saja tidak bisa merubah kebiasaan mereka. Hanya dua orang itu saja yang sedikit bebal, walau sudah berulang kali diingatkan Ibu.

Tanpa sadar, air yang kumasak sudah mendidih.

Aku yang masih menggendong Alina saat itu, langsung mencari mainan kesukaan gadis kecilku, baby walker. Alat ini cukup membantuku untuk membuat Alina tetap sibuk dalam batasan-batasan aman.

Semua benda tajam di lantai telah kusingkirkan. Tidak ada kardus bertumpuk, atau barang-barang yang mudah terjatuh saat Alina sengaja beralri kencang ke segala ruang.

Setelah memastikan semua aman dalam pandanganku, aku bergegas mematikan kompor, menuang air panas dalam 3 buah cangkir yang telah berisikan sesendok gula dan 1 kantung teh.

Daun-daun teh kering mengubah warna air menjadi cokelat kemerahan saat kucoba melarutkan gula dengan cara mengaduknya menggunakan sendok. Saat kuyakin gula telah larut, warna teh juga sudah tampak cantik, aku segera membawa tiga cangkir teh panas dengan nampan kayu menuju ruang tamu.

Baru saja melangkah masuk, aku bisa mendengar apa yang diucapkan Abimanyu.

"Intinya, Om tidak akan memarahi kalian. Mengingat bapak kalian juga perokok. Kalau seandainya bapak kalian tidak merokok, tapi kalian nekat menghisap rokok, Om tidak segan-segan mengambil kayu di belakang untuk memukul kalian."

Aku berusaha sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara saat menyajikan teh. Abimanyu benar-benar terlihat menyeramkan saat sedang marah. Setelah berhasil meletakkan tiga cangkir teh, aku duduk di sebelah suami.

"Kalau mau merokok, di depan. Jangan di kamar mandi. Kalian tahu kan, Alina masih bayi? Asap rokok kalian itu lama terjebak di dalam sana. Kalian tidak berusaha meracuni adik sepupu kalian, kan?"

Aku langsung memukul lengan Abimanyu pelan sambil berucap, "Pah ..."

Aku memang tidak suka Reza dan Dimas merokok di kamar mandi. Hanya saja, ucapan suamiku ini sedikit berlebihan.

"Kalian sudah besar, laki-laki pula. Kelak kalian akan berumah tangga. Menjadi suami dan ayah. Harusnya kalian sadar, betapa buruknya asap rokok bagi anak-anak. Papamu loh, waktu kalian masih SD, lihat kalian berlarian menghampirinya saat Mas Maldini sedang merokok, papamu langsung mematikan rokoknya. Apa kalian pernah, melihat papamu merokok dalam rumah, apalagi di kamar mandi?"

Keduanya menggeleng pelan. Kepala mereka masih tampak tertunduk, tak berani menatap lawan bicara.

"Itu saja yang mau Om sampaikan. Kalau mau merokok di teras depan. Jangan dekat-dekat Alina. Kalau sudah selesai, segera cuci tangan. Kalian pasti akan langsung bermain dengan Alina, begitu selesai merokok, kan?"

"Iya, Om ...." jawab keduanya kompak.

Setelah itu, suamiku langsung bangkit dari duduk. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung melangkah menuju dapur, melanjutkan pekerjaan yang ia tunda sebelumnya.

Aku yang tidak terlibat dalam masalah ini pun akhirnya dapat menghela napas lega. Kuharap kedua anak ini bisa secara positif menerima nasehat Abimanyu, tanpa berburuk sangka.

Bagaimanapun juga, Reza dan Dimas kelak akan memimpin keluarga kecilnya sendiri. Sebelum melalui itu, mereka juga mungkin akan menjadi panutan adik-adik sepupunya.

Mengingat Bapak suka mengumpulkan anak-anak serta cucu-cucunya pada tiap kesempatan, anak-anak yang lebih muda dari Reza dan Dimas pasti secara naluriah ingin meniru kakak sepupu tertua. Maka dari itu, mengajarkan kedua anak ini untuk tidak merokok di depan anak-anak, terutama di tempat balita adalah pelajaran awal bagi kehidupan masa depan mereka.

***

A Wife's MemorandumWhere stories live. Discover now