Bab 12

8 0 0
                                    

Hari-hari yang kujalani selama hidup di Jakarta ini memang terasa lebih melelahkan. Bukan hanya soal pekerjaan rumah atau sekedar mengurus semua keperluan Alina seorang diri. Tapi saat menghadapi masalah atau merasa sedih dan terpuruk pun, aku harus merasakan semua itu seorang diri.

Berat rasanya. Untuk seorang yang selama hidup selalu tergantung denga orang tua. Semandiri apa pun aku di mata orang-orang, aku tetaplah si bungsu dari keluarga Soekandar yang paling disayang Bapak dan Ibu. Sekeras apa pun aku berusaha agar tampak mandiri, mereka akan selalu mencurahkan kasih sayang yang besar, dibanding ke kakak-kakakku lainnya.

Walau aku tidak seorang diri merantau di kota besar ini, namun suamiku terlalu sering membuatku kesepian. Ya, kali ini dia mengambil andil paling besar dalam luka yang tergores di hatiku.

Kucoba tegar menjalani hari. Seberat apa pun itu, jika kulakukan demi buah hatiku tercinta, Alina, semua perasaan sedih, beban yang mengganjal di hati, seolah sirna saat melihat wajah polos dan senyum riangnya.

Aku pernah gagal memiliki Rahayu. Kecerobohan, serta kebodohanku sebagai seorang Ibu, membuat putri kecilku pergi meninggalkan ibunya lebih dulu, tanpa sempat menghabiskan waktu penuh canda tawa bersama—seperti Alina.

Aku tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalu. Aku ingin hidup lebih bahagia bersama keluarga kecilku, terutama si kecil Alina yang kini mulai tumbuh semakin pintar.

Mencoba hidup lebih ikhlas karena sejak awal ini adalah pilihanku. Aku bahkan memaksakan hal tersebut pada Bapak dan Ibu. Bila mereka mendengar betapa sedihnya aku hidup berjauhan dari mereka, Bapak, Ibu pasti langsung menyuruhku kembali ke rumah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, hubungan antara orang tua dan suamiku akan memburuk.

Kutarik napas dalam-dalam, berharap udara yang masuk mampu menjernihkan hati dan pikiran.

Alina masih tampak terlelap selama aku sibuk menyetrika pakaian. Untunglah siang ini ia tidak mendadak terbangun. Bisa-bisa semua hasil setrikaanku berubah menjadi alas tidurnya.

Ya, Alina sangat menyukai sensasi pakaian halus yang masih hangat. Membuat ia sulit menahan godaan untuk tidak merebahkan diri di atas pakaian bersih yang sudah kusetrika.

Suara ketukan pintu membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju pintu.

"Assalamualaikum."

Suara yang sudah lama tak kudengar, akibat banjir melanda Jakarta pun akhirnya terdengar lagi.

Laki-laki yang menjadi sumber segala kecemasanku kini mulai masuk dalam indekos, begitu menyadari pintu tidak terkunci.

Pria itu tampak santai berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam, tanpa mengucapkan maaf atau sepatah kata pun.

Aku mencoba diam, tidak ingin memancing keributan atau sampai membangunkan Alina.

Setelah beberapa menit mendengar suara gemericik air, Abimanyu akhirnya keluar mengenakan pakaian santai yang tampak lebih segar, dibanding saat tiba.

"Ada makanan apa, Ma?" tanya Abimanyu begitu duduk di sebelahku.

Pertanyaan yang sederhana ini, entah mengapa membuatku kesal bukan main. Berhari-hari tidak pulang—jangankan pulang, ingat memberi kabar saja tidak—hal pertama yang ditanyakan justru, ada makanan apa? Tidakkah terlintas dalam benak laki-laki ini betapa kesal dan cemasnya aku?

Sudah beberapa hari ini aku berusaha menahan berbagai macam kecemasan saat hujan turun semakin deras, banjir yang terus saja naik, dan baru tampak surut kemarin.

Kenapa pria yang kunikahi tampaknya tidak memikirkan perasaanku yang dipenuhi kegelisahan ini? Bukankah ia sudah sangat keterlaluan.

"Papa baru sampai, tapi hal pertama yang Papa katakana hanya itu?"

Suamiku tampak bingung.

"Sadar gak sih Pah, Papa sudah tidak pulang berapa hari? Mama tuh cemas tidak mendapat kabar apa pun dari Papa," tuturku dengan suara sepelan mungkin, agar tidak membangunkan Alina.

"Mama sadar gak sih di luar kemarin-kemarin itu banjir?" tanya Abimanyu balik yang terdengar tegas.

Tahu. Aku jelas sangat tahu! Justru karena aku tahu, makanya aku mengkhawatirkanmu!

"Papa tuh sampai harus menginap di rumah teman Papa karena hujannya terlalu deras, sampai banjir." Abimanyu mencoba memberi penjelasan, tapi entah mengapa bukannya memaklumi, aku justru semakin kesal.

"Tapi setidaknya kan bisa kasih kabar lewat telepon kantor. Memangnya kantor tidak mengizinkan pulang cepat saat air mulai naik? Kan Papa bisa langsung pulang sebelum sorenya," ujarku yang semakin menuntut penjelasan.

Aku lelah merasa cemas seorang diri, sementara orang yang kukhawatirkan tampak tak menaruh peduli pada apa yang kurasa.

"Tahu ah! Susah kalo ngomong sama kamu tuh!" Abimanyu langsung bangkit dan membanting pintu saat keluar.

Aku yang terkejut spontan menengok ke arah Alina. Untunglah anak itu tidak terbangun, padahal posisi kasur cukup berdekatan dengan pintu.

Perasaan sesak di dada ini semakin memilukan. Kuelus lembut dadaku sambil sesekali mengucap istigfar, berharap Allah mau mengurangi rasa sakit yang kurasa, dan memberiku banyak kesabaran dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Semakin kucoba bersabar, berbesar hati, semakin sakit kurasa. Air mata yang sudah sejak lama kutahan, kini tak mampu terbendung lagi.

Aku hanya bisa menangis dalam diam, mengingat kondisiku saat ini.

***

A Wife's MemorandumWhere stories live. Discover now