02

1.1K 125 0
                                    

"Nyonya saya adalah ibu dari tuan muda sendiri."

"..."

ARVYN INGIN MENGHILANG RASANYA.

---

Yailah belum ada sehari disini udah di culik aja gue.

"Om mau kemana si ini?"

Pria berjas itu melihat Arvy dari kaca spion depan, "kembali ke rumah tuan muda yang sebenarnya."

"Ya dari tadi juga om ngomong gitu terus. Udah lah, percuma juga."

Udah lebih dari enam kali Arvy menanyakan arah tujuannya pada supi— maksudnya om yang sedang menyetir didepannya ini, jawaban yang diberikan ya itu , "kembali ke rumah tuan muda yang sebenarnya."

Ga ada kalimat lain kek misal,

"Anda telah saya culik sekarang minta tembusan kepada —"

Nah tudep (to the point) gitu loh.

Gimana Arvy ga tambah curiga kalo dia diculik, sekarang kanan kirinya sudah hutan yang diisi pohon-pohon besar dan menjulang, tidak ada lagi lampu perkotaan yang menerangi. Bahkan lampu jalan pun hanya ditaruh di beberapa titik dijalanan ini.

"Yailah beneran diculik ini mah."

Arvy melihat kembali om-om yang sedang fokus menyetir itu, "om ini aku tanya sekali lagi, beneran sekali lagi ini. Diliat-liat kanan kiri udah gelap om, aku mau dibawa kemana sih? Beneran diculik ini?"

"Anda akan kembali ke—"

"—rumah tuan muda yang sebenarnya yayayaya." Arvy menghela nafasnya. Percuma emang.

Udah lah psarah aja, lagian kalo diculik pun mau ia dibunuh juga tak apa. Belum ada 24 jam ia menempati tubuh tanpa identitas yang tak ia ketahui ini.

"Om kalo om mau bunuh say—"

Perkataan Arvy terpotong karena pusing yang dilandanya.

"Arghh" Arvy mengerang tertahan memegang kepalanya yang seperti tertusuk secara tiba-tiba.

"Tuan muda!"

Arvy bisa merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti mendadak dan mendapati om yang tadinya dikemudi supir sudah berada di sisi Arvy.

Wah cepat sekali.

"Tuan muda, ada apa dengan anda!?"

Arvy hanya mendengar nya samar, ia sudah tak tahan dengan rasa sakit yang tiba-tiba datang ini.

"Tuan muda!"

Wah, jangan-jangan tubuh yang ditempati ia sekarang punya penyakit, dan penyakit itu kambuh sekarang?

"ARVYN!"

Pikiran yang teralihkan itu kembali lagi pada fokus yang tak seberapa, ia lihat sebelum kedua matanya tertutup adalah wajah wantia yang ia temui tadi pagi.

--

Ruangan hitam mengelilingi tubuh Arvy sekarang, ia perlahan membuka kedua matanya, "lah dimana lagi ini?"

Mendudukkan dirinya perlahan supaya rasa sakit yang ia rasakan tadi tak menyerangnya secara tiba-tiba. Trauma dia tuh sama sakitnya.

"Gila itu sakit apaan tadi anjir, pala gue rasanya mau pecah."

Arvy menghela nafasnya, "apalagi ini Tuhan," ia melihat sekeliling nya.

Hitam.

Semua pandangannya kedepan hanyalah ruangan hitam tak berwarna dan ia sendiri disini.

"Sebegitu ga maunya kah Tuhan nerima gue untuk masuk neraka sekalipun."

Ia mencoba berdiri dan menelisik sekitar dengan perlahan, meraba apa yang bisa ia rasakan dengan inderanya.

"Halo?"

Bergema. Hanya suaranya kembali yang ia dengar.

Tunggu,

Suara?

"Ha—halo?"

Tunggu, tunggu, tunggu.

Ini suaranya sebagai Arvy di tubuh aslinya.

Arvy segera meraba badan dan merasakan wajahnya. Melihat kembali tangannya yang penuh bekas luka.

Ya, ini tubuh aslinya. Zynoya Arvyn.

Apa ia kembali? Lantas apakah dirinya sudah mati saat ini?

"Zy."

Arvy menoleh kearah suara.

Zy, panggilan masa kecilnya.

"Halo?"

"Zy?"

"Iya?"

"Zy."

"Apa?"

"Zy?"

Arvy diam sejenak, sungguh saat ini jantungnya sudah berdebar tak karuan. Bukannya apa,

Tapi ia takut woi! Siapa yang ga takut kalo tiba-tiba ia berada sendiri ditempat sepi dengan pandangan hitam dan tak ada tanda-tanda kehidupan apapun dan tiba-tiba entah datang dari mana ada yang memanggilnya?!

Siapa yang ga takut coba?

"Si—siapa ya?"

"It's me."

"Ya siapa? Sebut nama."

"It's me."

"It's ma, it's me. Gue ga kenal, keluar ga lo?!"

Nah kan udah keluar sifat aslinya.

"Zy."

"Iya apa anjing, udah stop manggil-manggil gue. Gue ga budek."

"Zy."

"Baj—####"

"####"

*Biarkanlah Arvy mengumpat dengan bebas, sensor demi kenyamanan membaca (⁠ ⁠╹⁠▽⁠╹⁠ ⁠)*

Sementara itu ditempat lain...

"Tenang kak, Arvy hanya lupa meminum obatnya."

"Hanin, aku ibu yang buruk. Aku bahkan tak tau apa-apa tentang anakku."

Wanita bernama Hanin itu menggeleng, "tidak kak, apa yang kakak lakukan bersama kakak ipar adalah salah satu bukti bahwa kalian menyayangi Arvy."

Hanin tersenyum, ia memeluk wanita yang sedang menangis didepannya, "sudah Kak Lia jangan menangis lagi, jika Arvy bangun dan melihat Mommy nya menangis pasti ia tak suka."

Lia membalas pelukan adik iparnya itu, "terima kasih Hanin telah menjaga putraku selama ini."

"Sama-sama kak, Arvy juga putraku bersama Mas Zafer."

BRAK

Dobrakan pintu dengan tak santainya mengagetkan kedua wanita yang sedang berpelukan itu.

"Elgar!"

"Bunda marahnya nanti dulu, itu Arvy nangis nyariin bunda."

- KalaWhere stories live. Discover now