Anggi
Ia masih mematung, sambil memandangi uluran tangan Rendra. Hati kecil jelas menginstruksikan untuk menempatkan tangan di sana. Menjawab permintaan maaf Rendra dengan anggukan. Namun akal sehat justru berkata lain.
Kilasan peristiwa di dapur Pitaloka kembali berputar di kepala. Berulang-ulang. Seperti roll film yang tak ada habisnya.
Dalam sekejap berhasil memantik rasa amarah, kesal, gondok, sedih, malu, jijik, menyesal, dan sederet perasaan negatif lain yang tak terdefinisikan.
Seumur-umur, ia belum pernah mendapat perlakuan seintens itu dari lawan jenis. Lawan jenis yang tak dikenalnya (saat kejadian), catat. Ini jelas mengoyak harga diri.
Ditambah ia terbiasa hidup di lingkungan yang memiliki support system dan social support yang bagus. Keluarga hangat penuh cinta. Menjadi pondasi kuat sikap mental yang dimiliki dalam menghadapi setiap masalah hidup yang datang.
Sedikit banyak memberi andil tentang, bagaimana cara mengambil keputusan penting dalam setiap momen kehidupan.
Membuatnya memiliki insting alami saat bertemu Rendra. Yaitu sigap menjaga jarak dengan Rendra. Yang jelas-jelas memiliki karakteristik jauh berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang selama ini pernah ia kenal dan temui.
Baginya, Rendra adalah jenis spesies baru yang unik, aneh, sekaligus mengancam eksistensi.
"Kenapa? Kok lama mikirnya?" meski tangan kanan masih menggantung di udara menanti sambutan darinya, air muka Rendra mulai sedikit berubah. Menjadi tak semenyenangkan tadi.
'*Di lubuk hatiku tersimpan
Ada rasa bimbang
Yang enggan ku ceritakan
Ternyata baru ku sadari
Sirnanya hatimu
Yang engkau simpan untuknya*..."
Sayup-sayup terdengar dari speaker ponsel di warung tenda, suara Reza Artamevia telah tergantikan oleh Ruth Sahanaya. Yang seolah menjadi background sempurna dari percakapan awkward mereka, original sound track.
"Jangan-jangan, itu pertama kalinya kamu... disentuh oleh seseorang?" lanjut Rendra dengan suara penuh kehati-hatian. Di sana terselip nada khawatir yang tak bisa ditutupi.
*Oh Tuhan
Maafkan diriku
T'lah melangkah lugu
Memberi bimbang di hatinya*..."
"Say something," Rendra telah menarik kembali tangan kanan. Dan langsung memasukkannya ke dalam saku celana. Suara Rendra juga telah kembali ke setelan awal, kanebo kering mode ON.
Dddrrttttttt Dddrrttttttt Dddrrrttttttt
Getaran ponsel di saku kemejanya, dalam sekejap berhasil mengalihkan perhatian mereka berdua.
"Ojeknya udah datang," jelas menjadi pilihan kalimat paling mencengangkan yang dipilihnya untuk memecah keheningan.
Mulut Rendra terlihat berkedut ingin mengatakan sesuatu. Tapi ternyata Rendra lebih memilih untuk diam.
Namun rahang Rendra yang mengeras menandakan seberapa keras usaha untuk menahan diri. Juga sorot mata yang berubah sendu, seolah menggambarkan bagaimana suasana hati Rendra saat ini.
Dan setelah semua keheningan dan kekakuan yang menyiksa, reaksi yang Rendra ditampilkan masih tetap gentle. Kini tangan kanan Rendra terangkat ke atas, mempersilakannya untuk berjalan melewati pagar lebih dulu.
YOU ARE READING
Bad Senior in Love
RomanceSeseorang yang selalu ada bukanlah dia yang selama ini diimpikan.