13. Tes Seleksi

16.8K 1K 118
                                    

Seminggu telah berlalu pasca pendaftaran Kala di sebuah TK ternama di Ibu Kota. Itu berarti, hari ini Kala harus menjalani tes seleksi di TK tersebut. Kala deg-degan karena ia akan berhadapan dengan seorang guru yang akan mewawancarainya. Tapi setelah tahu bila orang tua bisa mendampingi sang anak, Kala jadi lega, setidaknya sampai ia sadar bila Tristan tidak datang menemaninya. 

“Kala jangan manyun gitu dong,” tegur Khanza yang duduk di bangku tunggu bersama Kala. Di sebelah kanan mereka ada seorang Ibu yang sedang memangku anaknya.

Pertanyaan Khanza tidak mendapat jawaban sebab Kala mulai memerhatikan anak-anak lain yang hadir dengan orang tuanya. Ada yang ditemani Mama, ada yang ditemani Papa, bahkan ada yang ditemani keduanya dan itu adalah Seren, anak yang ingin merebut kursi Kala waktu dia makan nasi uduk bersama Pak Anan.

“Mama, Mama, nanti Ceyen ngomong apa kayau ditanya cama Bu Guyu?” Anak itu menarik-narik baju Mamanya yang langsung berjongkok, membisikkan sesuatu yang tidak bisa Kala dengar. Seren mengangguk-anggukkan kepala, sepertinya ia sangat paham dengan apa yang Mamanya katakan barusan.

Selanjutnya Seren menarik-narik tangan Papanya yang juga lekas membungkuk, kemudian Seren berbisik di telinga pria itu. Lagi-lagi Kala tidak bisa mendengarnya. Ia juga tidak ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Satu-satunya yang ingin Kala ketahui adalah bagaimana rasanya ketika bisikannya didengarkan oleh Tristan.

“Papa, nanti Caya ngomong apa kayau ditanya cama Bu Guyu?” tanya anak itu pada dirinya sendiri. Sontak membuat Khanza yang mendengarnya mengerutkan kening. Terlebih waktu anak itu menepuk dahi tiba-tiba. “O ya, Caya yupa, kan Papa ga datang hehehe.”

Melihat Kala tertawa pada leluconnya sendiri, entah kenapa malah membuat Khanza sedih.

“Kala Imamuel Putra.” Untungnya sebelum suasana hati Khanza jadi makin melow, nama Kala dipanggil untuk masuk ke sebuah ruangan, tempat di mana tes seleksi dilaksanakan. Rupanya di ruangan itu tidak hanya ada Kala, tetapi ada dua calon murid lainnya. Masing-masing menghadap guru yang sedang menguji. Keduanya sama-sama ditemani oleh orang tua mereka.

“Kemari, Nak,” pinta salah satu guru perempuan berbaju batik coklat. Membuat Kala yang merasa gugup, menoleh ke arah Khanza yang berdiri di sebelahnya. Ketika Khanza mengangguk, barulah Kala menuruti instruksi tersebut. “Orang tua boleh mendampingi, tapi nanti yang menjawab tetap calon muridnya.”

“Iya, Bu.” Khanza mengangguk paham lantas duduk di sebelah Kala.

“Waaah bajunya bagus banget, Ibu Guru suka deh, itu warna apa, ya?” tanya wanita itu ramah, bibirnya memancarkan senyuman yang menghangatkan. Pelan-pelan, kegugupan Kala pun menghilang. Ia menatap bajunya yang berwarna coklat.

“Cokat,” jawab Kala tanpa ragu.

“Kalau celananya warna apa?”

“Itam.”

Bu Guru mengangguk-anggukkan kepala.

“Oh ya, Adik berbaju coklat ini namanya siapa ya? Ibu Guru belum tau nih.”

“Caya Imanuel Putya.”

Khanza tersenyum lebar mendengar jawaban Kala yang begitu cepat. Bu Guru pun terlihat bangga karena sebagian pertanyaan yang dianjurkan bisa dijawab dengan benar oleh anak itu. Kala juga tidak kesulitan waktu menyusun angka satu sampai sepuluh sesuai urutan. Ia tahu semua warna Pelangi, bisa menulis kata-kata sederhana seperti Papa, Mama, Budi dan nama panggilannya sendiri.

“Pinter,” puji Bu Guru sambil menepuk-nepuk tangan pelan. Kala langsung menyengir begitu lebar.

“Makacih, Bu Guyu.”

Anak Mantan (A Lovely Thing Called Hope) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang