14. Sebatas sarapan dan pelukan

1K 126 5
                                    

Pagi datang begitu cepat. Begitu menurut Arfan. Saat terbangun dia bahkan tidak lagi mendapati siapa pun di sampingnya. Ranjang di sampingnya kosong, tidak ada Arsila yang semalam tidur di sampingnya. Tempat itu bahkan sudah terasa dingin-yang artinya wanita itu sudah bangun sejak tadi.

Arfan mengerang, bangkit dan duduk di pinggir ranjang dengan kaki menapak di atas lantai. Ia usap wajahnya kasar begitu otaknya mulai berpikir ke mana-mana. Arfan yakin jika mungkin saja otaknya mulai tidak waras.

Enggan memikirkan hal-hal yang bisa saja membuat otaknya semakin gila, Arfan pun memilih bangkit dan melangkah keluar kamar. Namun baru saja ia keluar kamar dia sudah bertemu dengan seorang wanita yang sejak tadi mengusik otak dan pikirannya. Dia mengerja, terlihat linglung apalagi saat tangan wanita itu terulur ke arahnya.

"Baju ganti, Mas."

Arfan melirik pada pakaian yang di sodorkan oleh Arsila itu.

"Tadi supir mama ke sini, katanya mas yang minta baju ganti buat diantar ke sini."

Arfan berdehem cangung. Menerima baju itu tanpa kata dan melirik Arsila yang kini berbalik. Tanpa mengatakan apa pun lagi.

"Ibu.." Ucapan Arfan itu berhasil menghentikan langkah Arsila. "Gimana keadaan ibu?"

"Ibu udah baik-baik saja. Mas udah bisa mulai kerja hari ini."

Seharusnya Arfan senang, kan? Terutama ketika dia bahkan telah mengambil cuti beberap hari ini untuk alasan yang bahkan Arfan sendiri tidak mengerti untuk apa. Dia yang selama ini gila kerja kenapa mendadak mengambil cuti hanya untuk masalah sepele seperti ini?

"Aku akan siapkan sarapan, Mas. Mas bisa siap-siap-"

"Nanti malam kamu akan pulang, kan?"

Arfan merutuki mulutnya yang mendadak mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia tanyakan dan katakan. Padahal jelas-jelas biasanya dia sama sekali tidak peduli dengan keberadaan wanita di depannya itu. Menatap punggung wanita di depannya yang kini hendak berbalik.

"Aku cuman nggak mau kalau mama atau siapapun ke rumah dan menemukan kamu nggak ada di sana." Tambah Arfan lagi.

"Tapi aku nggak mungkin meninggalkan ibu sendiri di sini." Arsila berbalik, menatap suaminya yang kini menatapnya lurus. "Kalau mas nggak keberatan-"

"Aku sama sekali nggak keberatan kamu akan tinggal di mana saja. Hanya saja aku tidak ingin jika mama dan Kalish datang dan menemukan kita nggak di satu rumah yang sama. Jadi-" Melangkah maju. Arfan berdiri tepat di depan Arsila. Hingga tubuh mereka begitu dekat dan nyaris tak berjarak. Lalu ia menunduk, menatap wajah itu.

"Aku akan di sini selagi kamu juga di sini."

Kedua mata Arsila melebar. "Tapi-"

"Aku akan bersih-bersih sekarang." Tak memberikan kesempatan pada Arsila untuk mengatakan sesuatu. Arfan segera berlalu. Melewati Arsila dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Membuat Arsila hanya bisa menghela nafas panjang.

***

Selesai membersihkan diri dan bersiap, Arfan menemukan Arsila yang sibuk mempersiapkan sarapan. Wanita itu tampak berjalan ke sana-kemari di dalam dapur. Tanpa sadar Arfan terus memperhatikan wanita yang menggunakan dress rumahan itu. Tampak begitu gesit dalam melakukan apa pun di sana.

Ini adalah pertama kalinya Arfan melihat wanita itu di dapur dengan celemek membungkus tubuh ramping itu. Ada rambut yang di cepol asal juga keringat yang membasahi pelipis wanita itu. Yang entah mengapa Arfan merasa setiap gerik wanita itu terlihat menarik minatnya.

Sang Pemilik HatiWhere stories live. Discover now