27. Bukan pemenangnya

618 88 7
                                    

Arsila menatap gelas yang diulurkan oleh Arfan. Lama dia pandang sampai gelas itu di letakkan di depannya.

"Kenapa?" Tanya Arfan, heran karna mendadak Arsila berubah menjadi pendiam sepulang dari pesta.

Wanita itu lebih banyak melamun, lalu akan menarik nafas dalam dan panjang seakan ada sesuatu yang mengusik wanita itu.

"Kamu bisa bicara kalau seandainya-"

"Aku cuman capek." Arsila meraih gelas itu. Menegak isinya dan kembali meletakkannya di tempatnya semula. Mati-matian untuk tidak menatap Arfan juga kedua mata pria itu-yang bisa saja membuatnya kembali mengingat kembali apa yang mantan pria itu katakan padanya.

Mantan?

Arsila mendengus dalam hati.

Dia bangkit.

"Mau ke mana?"

"Aku capek, Mas. Aku akan istirahat lebih dulu."

Arsila pergi, meninggalkan Arfan yang kini hanya menatap punggung itu yang melangkah menjauh. Meninggalkannya dengan banyak tanya yang sama sekali tidak bisa dijawab.

Wanita itu, tidak pernah seperti ini. Tidak pernah bersikap acuh dan cuek seperti sekarang ini. Semua itu, benar-benar membuat Arfan tidak menyukainya.

*****

Pagi-pagi sekali, begitu Arfan membuka mata. Dia temukan Arsila yang duduk di atas sajadahnya. Seperti biasa, wanita itu melantunkan ayat-ayat yang kini entah mengapa membuat Arfan menyukainya.

Kantuknya mendadak hilang, mendadak menguar dan pergi entah ke mana. Suara merdu itu terasa menyejukkan hati. Arfan suka setiap membuka mata, hal pertama yang dia temukan adalah istrinya yang berada di sana.

Merasa diperhatikan, Arsila menoleh. Menemukan suaminya yang menatapnya dengan bibir tertarik tipis.

Pria itu bangkit, mendekat ke arahnya dan tiba-tiba duduk di depannya dengan kaki di tekuk.

"Kenapa berhenti?"

"Mas sudah bangun?"

Arfan mengangguk. Dia mengedikkan dagunya ke arah Alquran yang sejak tadi Arsila baca.

"Mau dilanjut?"

Arsila tak menjawab, dia hanya menutup Alquran di depannya sebelum menggesernya menjauh.

"Aku udah selesai. Mas butuh sesuatu?"

Arfan menggeleng, dia tersenyum saat melihat wajah wanita di depannya masih terlihat acuh. Membuat dia yakin jika wanita di depannya saat ini pasti masih mode marah. Walau Arfan sendiri tidak tahu kenapa wanita itu marah dan apa yang membuat wanita itu marah.

"Udah adzan." Suara Arsila kembali terdengar.

"Mas nggak mau sholat?"

"Sholat?" Ulang Arfan. Dan Arsila mengangguk membenarkan.

"Mas udah lama nggak sholat."

Arsila tersenyum. Dan untuk pertama kalinya Arfan melihat itu. Yang entah mengapa dia suka melihat wajah itu tersenyum. "Aku sama sekali nggak keberatan kalau mas mau jadi imam."

"Imam, ya?" Gumam Arfan, yang mengundang senyum Arsila lebih lebar lagi.

Akhirnya Arfan melakukan itu, untuk pertama kalinya.

Arsila bahkan tak lagi mampu membendung rasa harunya. Suara bas pria itu, yang mengalun merdu, membaca ayat-ayat demi ayat suci Alquran membuatnya tak bisa menghentikan laju air matanya.

Ada yang berbisik lirih, terutama saat ia mengecup punggung tangan itu untuk kedua kalinya dalam keadaan yang benar-benar mampu menggetarkan hatinya.

Air matanya bahkan meleleh lebih deras. Segala lelah, sabar yang ia tanamkan rasanya terbayar lunas saat dia berhasil membuat seorang pria yang selama ini menjaga jarak, selalu bersikap dingin dan acuh, berdiri di depannya. Membimbingnya.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: 5 days ago ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Sang Pemilik HatiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora