Sapuluah

15 4 0
                                    

Aku tidak tahu jalan ini.

Rasanya ini pertama kalinya aku melewati track ini. Kutatap sekeliling, hanya ada pepohonan, semak belukar, tanpa suara jangkrik dan hewan kecil lainnya. Menambah keanehan yang kurasakan.

Fajar menoleh ke arah belakang, lalu menyenter ke arah depan. Di sana terdapat tanjakan yang cukup tinggi. "Hei, di sana ada tanjakan lagi, hati-hati pas naik."

"Oke, Jar."

Lagi-lagi, Fajar naik terlebih dahulu. Dia mengulurkan tangan pada Luis, menariknya hingga naik ke atas. Begitu Gadis naik dibantu Refan dan Luis, kini giliranku untuk naik. Kugapai tangan Fajar dan Refan bersamaan, entah karena tubuhku yang ringan atau mereka terlalu kuat, aku merasa seperti terbang karena tarikan mereka.

Faisal terakhir, dan kami terus berjalan tanpa henti. Kutatap sekitar dengan waspada, jadi ingat dengan kalimat pas aku ketiduran tadi. Itu Luis, kan, yang ngomong? Nggak mungkin hantu! Cuma aku dan Luis yang terjaga tadi, dan karena aku takut mendengar suara itu, aku memilih tidur saja.

"Gue ngerasa gelisah tanpa sebab," gumamku amat pelan.

Karin menepuk bahuku, dia maju lalu berbisik pelan. "Lo ngerasa ada yang aneh nggak? Entah kenapa suasananya serem banget."

"Biasa aja, Rin. Mungkin cuma perasaan lo aja kali? Inikan pendakian pertama lo di gunung, makanya gelisah," balasku sangat tenang. Padahal tanpa ada yang tahu, aku ketakutan setengah mati gara-gara bisikan setan.

Tidak tahu, ya, entah itu bisikan setan, iblis, hantu, yang jelas itu menyeramkan sekali. Apa seharusnya kami putar balik saja, ya, agar selamat sentosa?

"Lo yakin, Lis?" Karin menghela napas.

Aku tidak yakin, jujurly.

Makin mendaki, aku makin merasa asing dengan jalur ini. Banyak sekali batang pohon yang menghambat jalan kami, seolah-olah tidak ada yang pernah melewatinya. Aku merasa ganjil dengan hawa ini.

Hawanya dingin menusuk tulang, badanku meremang seiring berjalannya waktu, bahkan napasku sempat sesak beberapa saat. Tenang, aku harus tetap tenang.

"Seram banget, kenapa kita nggak nanjak pas siang-siang aja? Emangnya ada yang nanjak malam?" tanya Karin yang menyulut emosi dari berbagai pihak.

Bacotlah, Rin. Padahal sedari awal sudah dibilang kalau mendaki gunung Marapi tidak diperbolehkan pada malam hari. Dan, yang paling ngeyel adalah Karin, si pendaki ulung.

Aku sudah muak, tentu saja, padahal semua saran dan nasihat sudah diberikan, dan si anak bawang ini tetep kekeh dengan embel-embel melihat sunrise, pengen berkata kasar dibuatnya.

"Lo, kan, yang pengen liat sunrise? Ini lagi usaha," balas Luis datar.

"Lagian, siapa tuh yang keras kepala pengen liat matahari terbit? Situ, kan? Nggak usah protes deh soal pendakian malam," ucap Gadis kesal setengah mampus.

Karin berdecak samar.

"Capek, gue juga takut banget, trus kalo ngeliat hantu gimana?" tanya Karin, dia menarik ujung jaketku kuat.

"Omongan lo!" Aku melotot, geram dengan tindakan dan kalimatnya.

Karin menggigit bibirnya takut, dia bergerak gelisah tak menentu. Aku heran, kenapa juga dia sampai menyontek tugas hobiku kalau pada akhirnya dia mengeluh? Padahal tuh cewek paling bersemangat.

"Udah, Lis." Faisal menepuk bahuku amat pelan. "Rin, kita para cowok bakal lindungi kalian, jangan takut. Ada abang Ical di sini."

"Nggak lucu sumpah," ucap Gadis jengkel. Cewek itu berdecak. "Nggak usah jadi pahlawan kesiangan gitu, Cal. Mending mingkem aja bentar."

About DieWhere stories live. Discover now