Tujuahbaleh

29 4 2
                                    

Makhluk itu menghilang.

Aku menyadarinya begitu Refan menyingkirkan tangannya dari mataku. Cowok itu menatapku khawatir, dia membalik tubuhku menghadap dirinya dan menghela napas. Sepertinya dia sadar dengan tanganku yang dingin.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Refan masih khawatir.

"Nggak apa-apa," lirihku.

Kulirik tempat makhluk itu berdiri, tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada pepohonan lebat, semak-semak, dan gelapnya malam yang menjadi latar belakang hutan ini.

Aku mendesah kesal ketika tangan Refan menepuk kedua pipiku cukup kuat. Kutepis tangannya geram, lalu memberi jarak karena kami terlalu dekat. Dia membuatku tertekan.

"Jangan sentuh! Lo pikir gue lagi kerasukan apa?" tanyaku heran.

"Hanya khawatir," balas Refan tenang.

Khawatir? Dengan wajah datar dan dinginnya itu dia berkata khawatir? Aku tak percaya sama omongannya, Refan bukan tipe yang berperasaan sampai-sampai mempedulikan orang lain.

Aku curiga dia akan memberiku cokelat lagi, mengingat dia suka sekali menghamburkan cokelat kepada semua orang. Kulepas kupluk di kepalaku, lalu mendekat sedikit ke api unggun.

Malam ini cukup dingin, membuatku merapatkan jaket yang tengah kupakai. Susu cokelat tadi sudah dingin, tapi tidak apa, aku akan menghabiskannya dengan roti strawberry.

Aku ... takut.

"Fan."

"Kenapa?"

Aku menelungkupkan kepalaku di lutut, menatap Refan dengan sorot berkaca-kaca. Sungguh, aku takut dengan keadaan tadi. Kupikir aku akan dibawa oleh makhluk tak kasat mata, meninggalkan kedua orangtuaku, bahkan tidak sempat meraih cita-citaku. Lebihnya buruknya aku akan mati!

"Nangis?" Refan mengejek.

Tak menghiraukan nada suaranya, aku memilih jujur. "Lo tau, pas gue jaga sama Luis kemarin, gue denger ada suara yang ngomong buat jangan nanjak lagi."

"Apa?"

"Dia bilang, jangan nanjak lagi. Gue pikir Luis yang ngomong kayak gitu, tapi Luis bilang dia nggak ngomong apapun sama gue malam itu," ucapku sambil memilin jariku.

Hening.

Kutatap Refan serius, tak kusangka wajahnya menampilkan raut terkejut. Cowok itu mengatup bibirnya, lalu menoleh ke api unggun dengan kerutan kening. Manik cokelatnya bahkan bercahaya karena terangnya api.

"Tunggu, jadi lo serius? Gue pikir lo mau nakut-nakutin," sambar Luis keluar dari tenda.

Aku menghela napas. "Kok bangun? Bukannya tadi udah tidur?"

Luis menggeleng. "Gue gelisah, nggak bisa tidur, pas mau tidur malah ngeliat kalian ngomong ama setan. Ajaib."

Srek!

Dengan refleks, aku melompat ke belakang Luis dan Refan waspada. Kami bertiga menatap ke arah semak-semak tinggi. Semak-semak itu masih bergoyang cepat, seolah-olah ada yang——

"Refan? Luis? Aelis?"

Kami menatap ketiga orang yang baru saja menampakkan diri. Tidak hanya mereka yang terkejut, kami pun juga sama terkejutnya. Bagaimana tidak, mereka menyebutkan kalau mereka bertiga berada di dekat Cadas.

"Lilis!"

Tubuhku terjatuh, menubruk tanah karena dipeluk oleh Karin. Cewek itu menangis, jaketku sampai basah karena air matanya. Dia bergumam tidak jelas sambil mengelap ingus di ... jaketku.

About DieWhere stories live. Discover now