CHAPTER 45

5 2 4
                                    

“Na, angkat dong

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Na, angkat dong.” Arya bergumam ketika mencoba menghubungi Kristina untuk kesekian kalinya. “Kamu ke mana, sih? Please, Na, angkat.”

Informasi mengenai Kristina dari Akbar tidak berhasil Arya dapatkan, bahkan Akbar juga sama sekali tidak membaca pesannya. Ah, Arya tahu papa Kristina adalah dokter bedah yang sibuk, tetapi tiba-tiba saja dia berpikir bahwa Akbar memang sengaja mengabaikan pesan dari Arya.

Apakah ini adalah bagian dari rencana Kristina soal hadiah di ulang tahunnya besok? Jika tebakan Arya benar apakah Arya akan bertemu dengan Kristina besok, tepat di ulang tahunnya yang ke-19?

Kali ini pemuda itu mencoba menenangkan diri, duduk di atas kasurnya setelah sekian lama mondar-mandir. Oke. Arya hanya perlu menunggunya sampai besok, maka Kristina akan muncul di hadapannya. Kristina juga sudah janji akan memberikannya hadiah, meski sekarang hadiah yang Arya inginkan hanyalah sebuah kabar.

Pintu kamar Arya yang terbuka sedikit mulai terbuka lebar setelah ketukan terdengar. Di balik pintu itu sudah ada Marsya dengan tubuh berbalut baju tidur motif polkadot. Arya sedikit terkejut akan kehadiran Marsya malam-malam seperti ini.

“Belum tidur?” tanya Marsya sembari duduk di sebelah Arya. Marsya tersenyum. “Nggak bisa tidur?”

Arya mengangguk. “Iya. Mama sendiri kok belum tidur jam segini?”

“Ada yang mau Mama omongin sama Abang.”

“Soal apa?” Arya penasaran, sepertinya obrolan ini sangat penting sampai Marsya harus menyampaikan malam-malam begini. “Kayaknya penting banget, deh.”

Marsya tertawa. “Sebenernya Mama mau ngomong tadi pagi sih, tapi Mama kelupaan. Jadi mumpung Mama inget Mama sampaiin sekarang,” ucapnya. “Ini soal pertanyaan Abang di rumah sakit waktu itu.”

“Pendonor?” tebak Arya, langsung diiakan oleh Marsya. “Kenapa, Ma?”

“Emm, tadi Mama dapat telepon kalau dia pengin ketemu sama Abang besok. Abang bisa?” tanya Marsya. “Dia udah atur lokasi pertemuannya. Gimana?”

Arya mengerjapkan mata. “Bisa-bisa. Arya juga udah penasaran, dan pengin ngucapin makasih langsung sama dia dan keluarganya. Mama sama Papa ikut?”

Marsya menggeleng seraya tersenyum. Wanita itu kemudian mencium kening putranya, memeluknya erat, dan berbisik di telinganya, “Selamat ulang tahun, Arya. Arya udah berhasil melewati semuanya. Mama harap Arya bisa jadi lelaki yang kuat ke depannya. Maafin Mama yang banyak salah sama Arya.”

Arya hanya bisa menatap bingung mamanya ketika pelukan hangat itu terlepas. “Ulang tahun Arya masih besok, Ma,” katanya sembari terkekeh. “Tapi nggak apa-apa, sih. Seenggaknya, Mama masih menduduki posisi pertama sebagai orang yang ngucapin selamat ulang tahun ke Arya.”

“Biasanya kalau kayak gini pasti ada maunya, nih,” tebak Marsya sambil menyenggol lengan Arya. “Mau minta kado apa?”

“Nggak ada,” balas Arya. “Karena menurut Arya, Mama udah kasih semuanya buat Arya, Linda, dan juga Papa. Makasih, ya, Ma.”

“Ih, sweet banget, deh. Terharu Mama.”

Arya mengusap air mata yang jatuh di pipi Marsya. “Tapi ada maunya loh ini,” kayanya.

“Tuh, kan, udah Mama duga.”

“Enggak-enggak. Bercanda.” Arya tertawa pelan. “Kali ini serius cuma itu aja. Nggak ada yang lain.”

***

“Jenny, tolong batalkan pemotretan siang ini, saya ada urusan mendadak.”

Jenny selaku sepupu sekaligus orang yang diutus oleh mama Amara mengelak, tidak setuju dengan keputusan yang Amara ambil. Membatalkan agenda seperti ini bisa merusak citra Amara yang sedang bagus-bagusnya, apalagi Amara sudah dikenal dengan model yang profesional.

“Tolong, kali ini saja. Saya belum pernah ngelakuin ini, kan?”

“Iya, Mar,” balas Jenny sembari membuka pintu mobil untuk Amara, lalu dia juga memasuki mobil dan duduk di sebelahnya. “Tapi kita nggak bisa batalin gitu aja. Kita udah deal dari awal soal iklan ini.”

“Oke.” Amara mengerti. “Kalau gitu ubah waktu pemotretannya saja. Saya benar-benar nggak bisa siang ini. Saya ada urusan penting. Oh iya, kalau bisa mama jangan sampai tahu, ribet urusannya nanti.”

Jenny hanya mengangguk patuh.

***

Arya sedikit terkejut karena orang yang ingin bertemu dengannya mengajaknya bertemu di rumah sakit, tempat di mana Arya dirawat sekaligus operasi. Pemuda itu duduk di kursi putih, menunggu sesuai informasi lokasi dari mamanya.

Menyapu pandangan sekitar, masih belum ada tanda-tanda seseorang melangkah ke arahnya Arya memilih untuk berjalan-jalan sebentar. Tiba-tiba saja Arya jadi bernostalgia ketika dia bersama Kristina selama dia dirawat di rumah sakit ini.

“Isi bensin, aaa... aummm!” Kristina refleks menganga ketika sedang menyuapi Arya. “Satu lagi... isi bensin, aaa... aummmm!”

Arya menerima suapan Kristina. Bubur rumah sakit yang biasanya terasa hambar tiba-tiba saja berubah enak, mengalahkan masakan mamanya.

“Enak?” tanya gadis itu, untuk saat ini Arya setuju. “Iyalah enak. Kan, disuapi sama pacar. Percaya atau enggak makanan akan berubah jadi lima kali lebih enak kalau dimakan bareng orang yang kita suka. Yuk, lagi.” Kristina kembali menyuapi Arya dengan romantis.

“Kata siapa?”

“Kata akulah.” Kristina menjawab antusias. “Makanan asin aja kalau dimasakin sama pacar tiba-tiba berubah jadi enak. Percaya, deh. Di film-film gitu soalnya. Mau coba?”

Arya mencubit gemas pipi Kristina. “Kalau asin mah bakal tetep asin, Na. Mana ada makanan asin berubah jadi enak. Kecuali kalau ditambah gula, atau sesuatu yang bisa ngurangin rasa asinnya. Pasti kebanyakan nonton film, nih.”

“Ish, suka banget deh cubit pipi aku!” Kristina manyun. “Nanti kalau pipi aku jadi makin gini—” Kristina menggembungkan pipinya, “—gimana? Jadi tambah berat nanti. Ini aja udah berat. Ada nggak sih cara transfer lemak di pipi. Mau kutranfer ke Arya biar pipi Kak Arya nggak tirus-tirus amat.”

“Emang kenapa kalau tirus?”

“Ya nggak apa-apa, sih,” balas Kristina. “Tapi kalau pipi Kak Arya cabi kan enak. Aku bisa balas kalau Kak Arya tiba-tiba cubit pipi aku. Tunggu-tunggu aku masih ngebayangin kalau Kak Arya punya pipi cabi.”

Gadis itu memejamkan mata, membayangkan, dia tersenyum. Namun, senyumnya berubah menjadi ekspresi kaget, keningnya mengerut. Tidak lama dia membuka mata seraya bergidik ngerti sendiri. “Enggak jadi, deh. Kak Arya kayak gini aja. Hehehe.”

Arya menggeleng pelan, menanggapi tingkah Kristina.

“Oke ini yang terakhir.” Kristina mengangkat sendok berisi bubur. “Isi bensin lagi, aaa... aummm. Pinter banget, deh,” ujarnya seraya menyentil hidung Arya dengan telunjuk.

Arya tanpa sadar tersenyum mengingat nostalgia itu, dia bahkan sampai tidak menyadari ada seseorang yang memperhatikannya dari kejauhan. Arya  menoleh  ke belakang karena merasakan ada yang mendekatinya. Dia terkejut. Catatan tambahan lainnya, seseorang yang memperhatikan Arya pun kini telah pergi.

“Om Akbar?” Mulut Arya berucap tanpa suara.

***

BERSAMBUNG

KRISTINA [END]Where stories live. Discover now