5. Teror

150 9 0
                                    

“Ay!” seru Alana.

Panggilan dari Alana membuat Gio menghentikan pergerakannya dan mencari sumber suara, kekasihnya ternyata sudah berdiri di halaman depan café. Karena hari sudah malam maka Alana meminta Gio untuk menjemputnya saja. Sekaligus dia juga ingin membicarakan perihal Si Putri Merah yang mengusik hubungannya dengan Gio. Motor ninja Gio berhenti tepat di hadapan Alana, lelaki itu tersenyum manis memandang wajah cantik Alana.

Beruntung Alana memiliki kekasih seperti Gio, yang begitu perhatian kepadanya. Meskipun belum sepenuhnya tahu bagaimana sifat asli Gio, tapi Alana yakin kekasihnya itu bisa mengubah semua sifat buruknya. Alana naik ke motor Gio, lalu langsung memeluk pinggang kekasihnya erat-erat, seperti tidak mau kehilangan. Gio menatap Alana melalui spion motornya, perempuan miliknya seorang tidak boleh ada yang merebutnya.

Gio mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, menikmati angin malam berdua di atas motor bersama kekasih. Sesekali Gio mengusap punggung tangan Alana yang melingkar di pinggangnya dengan lembut. Tanpa terasa jalanan demi jalanan mereka lalui, kini tibalah mereka di kediaman Alana yang sepi. Alana masih enggan turun dari motor Gio, dia nyaman berdua seperti ini dengan kekasihnya.

“Na, kamu kenapa?” tanya Gio.

Alana memanyunkan bibirnya. “Ay, kamu ga mau buat panggilan khusus gitu buat aku? Masa iya mau manggil nama terus.”

“Oh ceritanya ngambek nih gara-gara itu?” goda Gio. “Ya udah aku panggil kamu by aja gimana?” lanjutnya.

“Mana bisa gitu! Ah tahu lah kamu buat aku salting deh!” protes Alana.

“Oke, berarti aku panggil kamu by. Turun ya by,” perintah Gio dengan lembut.

“Ga mau, ah aku mau bilang sesuatu. Kamu tau ga si ada yang taro cokelat di tas aku, dari puteri merah juga, kira-kira siapa ya dia?” Alana menaruh dagunya di pundak Gio.

Perasaan Gio semakin tidak enak, pikirannya melayang ke mana-mana. Dia takut Si Puteri Merah itu akan menghancurkan hubungannya dengan Alana. Benar-benar tidak bisa dibayangkan bagaimana jika tidak ada sosok Alana di hidup Gio, gadis yang selalu menguatkan dirinya, menasehatinya, bahkan hanya Alana yang peduli di masa-masa terpuruk Gio. Bersama Alana, Gio merasakan bagaimana rasanya dimanja dan mendapat kasih sayang.

“Kamu tenang ya? Ga usah dipikirin, biar aku ajak temen-temen aku buat cari tahu itu, oke by?” nasehat Gio.

Alana turun dari motor Gio, kemudian menatap kekasihnya itu dengan tatapan teduh.

“Kamu ga akan ninggalin aku kan, ay? Aku butuh kamu,” ungkap Alana.

Gio menggelengkan kepalanya cepat, “Engga, aku juga butuh kamu by. Jangan mikir kalo aku bakal ninggalin kamu, ya? Kamu pasti seharian ini udah cape, istirahat ya by. Masuk ke rumah, bersih-bersih, tidur, jangan lupa kirim pap sebelum bobo oke?” pesannya.

“Janji?” Alana menatap Gio serius.

“Aku janji, dan ga akan pernah ingkarin janji itu,” jawab Gio dengan penuh keyakinan.

Kini Alana dapat kembali tersenyum. “I’m happy to hear that! Aku masuk ya ay, nanti aku pap yang banyak! I love you ay, hati-hati di jalan jangan ngebut ya, lebih baik lama tapi selamat. Kabarin aku kalo udah sampe rumah, dadah!”

I love you too, by. Aku pulang ya, jangan lupa besok kita jalan,” pamit Gio.

Alana menatap kepergian Gio sampai motor Gio menghilang, memastikan bahwa kekasihnya itu baik-baik saja. Senyum mengembang di wajah Alana, semoga Gio kelak yang menjadi teman hidupnya. Dalam hal ini Alana sedikit memaksa agar doanya dikabulkan, meskipun belum tentu juga Gio berjodoh dengannya, namun tidak ada salahnya berharap.

JJJ

Rumah Gio sudah sepi, kedua orang tuanya sudah tidur sebab besok mereka harus kembali berangkat ke Jakarta, dan lusa ke Paris untuk menjalankan bisnisnya lagi. Gio memasukki rumahnya dengan langkah gontai, merebahkan tubuhnya di sofa dengan mata terpejam. Baru saja Gio sampai, ponselnya bergetar ternyata ada pesan masuk dari grup Vedos. Salah satu anggotanya mengatakan bahwa markas mereka kebakaran.

Gio kembali meninggalkan rumah untuk melihat bagaimana kondisi markas mereka sekarang, Gio merutukki kebodohannya yang tidak bisa menjaga markas tersebut. Gio benar-benar merasa bersalah kepada Vano, kabar ini sudah sampai juga kepada Vano. Di sekitaran markas banyak warga yang membantu untuk memadamkan api, sudah ada yang memanggil pemadam kebakaran tinggal menunggu datang saja.

Kebakaran cukup besar, Gio tiba dan melihat sudah ada teman-temannya termasuk Vano. Walaupun Vano sudah tidak menjadi ketua Ravedos lagi tapi dia tetap berhak untuk tahu hal itu, markas yang menjadi saksi perjalanan geng motor Ravedos mulai dari titik nol. Vano yang susah payah membangunnya, membuat visi misi, mencari anggota, dan masih banyak lagi. Vano tersungkur di tanah dan menangis.

“Gua ga akan biarin orang yang udah bakar markas kita hidup tenang!” teriak Vano.

S-sorry, Van. Kalo gue ga bisa jaga markas ini,” ucap Gio.

Vano menatap Gio nyalang. “Lo ke mana aja bangsat!? Biasanya juga lo diem di sini! Oh atau lo udah jadi budak cinta gara-gara Lana?”

“Tenang, Van. Kontrol emosi lo, kasian Kay kalo tahu lo kayak gini sekarang!” tegur Vino.

“Hem bos, kalem we atuh. Nanti kalo mau mah gue ada markas baru,” timpal Moren dengan santainya.

“Bukan masalah bangunan baru bangsat! Di sana banyak kenangan! Lo ga tau apa-apa mending diem!” bentak Vano.

Kacau, hidup Gio seperti diteror. Gio memilih untuk menyendiri di tempat yang sedikit sepi dan gelap, dia mengusap wajahnya kasar, memikirkan bagaimana caranya untuk segera terbebas dari masalah ini. Tanpa sengaja Gio melihat seorang berpakaian serba hitam yang berdiri tak jauh dari tempat duduknya saat ini, mungkin hanya berjarak sekitar dua setengah meter, Gio berlari mengejar orang itu tapi orang itu langsung kabur secepat kilat.

“Woy jangan kabur lo!” teriak Gio dengan napas terengah.

Gio kembali ke tempat di mana teman-temannya sedang berkumpul untuk menenangkan Vano, wajah Vano masih seperti menyimpan amarah kepadanya. Gio memahami hal itu karena ini semua kesalahan dirinya, Gio juga akan berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Vano agar tidak menjadi rusak seperti ini. Gio akan memastikan orang berpakaian serba hitam tadi akan segera ditemui oleh dirinya.

“Tadi gue liat orang pake baju serba item, kayanya dia yang bakar markas kita,” papar Gio.

Vino mengerutkan keningnya, “Postur tubuhnya kayak gimana? Apa dia salah satu anak Black Dove?” tanyanya pensaran.

“Gue rasa sih bukan, karena gue tahu gimana bentuk badan mereka. Badannya lebih kecil, pendek juga, gue rasa itu anak dari geng motor lain,” jawab Gio. “Tapi geng motor yang jadi musuh bebuyutan kita cuma Black Dove doang ‘kan?” sambungnya.

“Dulu ada namanya Alaskar tapi kayaknya bukan itu, mereka udah lama juga bubar,” jelas Prince.

Gio memijat keningnya pelan. “Terus itu siapa ya? Argh sialan banyak banget masalah gue!”

“Tenang, Gi. Sini istirahat dulu jangan mikirin masalah terus, ada kita juga kok. Kita bakal saling bantu di sini,” nasehat Mikael.

Pemadam kebakaran sudah tiba di tempat, api sudah mulai dipadamkan. Akhirnya api berhasil dipadamkan setelah melewati proses selama kurang lebih tiga jam. Satu-persatu warga sudah mulai meninggalkan area markas itu. Menyisakan beberapa anak Ravedos saja, mereka menatap miris bangunan yang sudah gosong itu. Vano kembali bersimpuh dan mengambil beberapa abu yang berserakan di sana.

“Van! Awas itu masih panas!” tegur Mikael. “Udah Van, ayo kita pulang aja ya. Kasihan Kay nunggu lo sendirian, dia lagi hamil juga ‘kan?” bujuknya.

Vano memejamkan kedua matanya sejenak. “Huh, iya gua balik. Makasih udah selalu ada di samping gua.”

“Biar kita anter oke? Bahaya kalo sendiri,” ucap Prince.

Vano tidak dapat menolaknya, dia membiarkan teman-temannya mengantar dirinya sampai ke apartemen. Karena tak dapat dibohongi, Vano lemas sekali setelah tahu markas Ravedos terbakar. 

Posessive Boyfriend [E N D]Where stories live. Discover now