Part 1: Mikha & Ila

38 6 2
                                    

Mikha memasuki kelasnya dan menemukan pemandangan yang nggak biasanya. Hampir semua siswi di kelasnya bergerombol di meja Ila, cewek yang terkenal paling update soal boyband Korea Im Superstars atau IS di kelasnya. Namun, Mikha nggak tahu apa yang tengah mereka bahas.

"Kyaaa... beneran sampai diikuti balik juga!" teriak salah satu siswi diiringi pekikan lainnya yang sungguh sangat bising untuk para siswa, termasuk Mikha.

"Dia siapa, sih?"

"Indonesia, Cuy! Satu-satunya non artis yang di-repost videonya dan diikuti Jorge. Beruntung banget nih orang. Kalau gue udah pingsan duluan kali."

"Untung cowok. Kalau cewek... gue nggak tahu lagi berapa kadar tingkat iri gue," ucap Ila sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, lalu kembali ke tempat duduknya yang berada di sebelah Mikha.

Mikha meliriknya sejenak, lalu menaikkan kacamatanya yang sedikit melorot. Ketika Ila menoleh ke arahnya, cowok itu langsung gugup dan menunduk. Kadang Mikha merutuki dirinya yang mudah sekali gugup jika berhadapan dengan cewek-cewek. Karena sifat pemalunya, cowok dengan penampilan nerd itu dijauhi teman-temannya kecuali jika ada maunya. Ah, kecuali Ila juga.

Mikha ingat sekali pertama kali keluarga Ila menjadi tetangga barunya dua bulan yang lalu. Tadinya Mikha nggak peduli, tapi ketika ia akan berangkat sekolah pada keesokan harinya, barulah keduanya terkejut. Sejak itu mereka berangkat sekolah bersama, kecuali sedang piket.

Namun, selama bertetangga dan berangkat ke sekolah, Gavrila yang lebih suka disapa dengan Ila yang paling banyak berceloteh dan Mikha hanya mendengar tanpa berkomentar. Yah, kecuali kalau cewek berperawakan tomboi itu meminta pendapatnya yang lebih sering memberi jawaban singkat.

Awalnya Mikha agak sangsi Ila mau berteman dengannya. Berbagai pikiran buruk seperti mencontek pekerjaan rumah, meminta contekan ulangan, atau nebeng ke sekolah karena Mikha membawa motor. Bukan apa-apa. Pasalnya, siapa sih cewek yang mau jalan dengan penampilannya yang aneh? Rambut belah tengah dengan minyak rambut yang banyak hingga mengilap yang dipakai ketika ke sekolah atau jalan saja, berkacamata tebal yang mencapai minus lima, bahkan memakai kemeja pun dikancing sampai leher. Jangan tanya kenapa, tapi memang itulah gayanya sejak kecil, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, semua dugaannya nggak benar. Ila benar-benar tulus dan nggak malu. Buktinya cewek itu sudah dua kali mengajaknya

"Mik, woi! Kok melamun? Ada apa?" tanya Ila membuyarkan lamunan cowok itu.

"Ng-nggak, kok. Hanya sedikit ngantuk."

"Ah, pasti lo belajar semalaman lagi. Gue lihat, jam sepuluh aja lampu kamar lo masih nyala. Emang nggak capek ya belajar terus? Kalau gue, mah, belajar hanya ada ulangan aja." ucapnya sambil terkekeh.

Capek, sih! Cuma apa boleh buat? Kalau nggak, nanti... ah, sudahlah. Mikha hanya membalasnya dengan senyum gugup. Ia belum ingin seterbuka itu dengan siapa pun. Ada yang boleh dibagi, ada yang nggak.

"Oh ya, Mik, nanti mau nggak temenin gue ke Warung Bakso Mbok Nah? Mama lagi ada kerjaan di luar kota. Nanti gue traktir, deh."

Mikha mengangguk. "Aku temenin saja. Mau makan di rumah."

"Ish, nggak seru, dong! Masa lo lihatin gue makan doang?"

"Atau itu, mm... makan dirumahku. Mamaku pasti nggak keberatan," tawar Mikha membuat cewek itu melongo dan Mikha seketika menunduk malu. "Ng... itu juga kalau kamu mau. Nggak maksa."

Ila tertawa terbahak-bahak melihat kegugupan Mikha. "Ya maulah! Masakan mama lo emang bikin siapa pun ngiler. Gue tuh bingung karena ini pertama kalinya lo ngajak gue. Biasanya gue melulu yang ajakin ini itu. Gitu dong, Mik!"

Dipuji oleh Ila tanpa sadar membuat wajah Mikha memerah malu dengan sendirinya. Hal itu malah membuat Ila tertawa semakin keras. Cewek itu memang heboh dan apa adanya. Nggak jaim pula.

***

Wuih, demi apa Mikha ajakin gue makan di rumahnya?

Ila senang bukan main ketika tetangganya itu mengajaknya makan di rumah. Selama ini Ila berusaha membuat cowok itu mau lebih terbuka, lebih bisa bergaul. Sejak SD, Mikha nggak pernah berubah dalam soal penampilan dan juga sikapnya. Akhirnya Ila yang lebih berinisiatif mengajaknya ke mana pun. Namun, kalau diajak berkumpul dengan teman-teman sekelas, jangan harap cowok itu mau.

Ila turun dari boncengan Mikha dan berjalan lebih dulu ke pintu. Sering main ke rumah Mikha membuat cewek itu sudah akrab dengan mamanya. Meski begitu, Ila segan sama papanya Mikha. Perawakan pria paruh baya itu tinggi tegap, wajahnya yang nggak pernah dihiasi senyum terlihat sangat galak. Ila sampai yakin kalau pendiamnya itu menurun ke Mikha.

"Eh, Mik, papa lo nggak ada, kan? Ntar yang ada serem gue kalau mau nambah."

Mikha tersenyum kaku. "Nggak tentu. Kalau pulang ya, makan. Kalau sibuk ya, nggak."

"Semoga sibuk," gumam Ila, lalu mulai menekan bel yang terpasang di tembok putih itu.

Ketika terdengar suara kunci diputar dari dalam, Ila langsung tersenyum lebar menyambut Mama Mikha. Senyumnya pudar ketika muncul Papa Mikha dengan wajah datarnya.

"Eh, Om. Si-siang," sapanya agak tergagap.

Pria itu hanya mengangguk tanpa menatapnya, melainkan menatap Mikha yang segera menunduk. "Mikha, habis makan siang Papa mau bicara sama kamu!"

"Iya."

Ila mengembuskan napas lega ketika pria itu kembali masuk ke dalam dan tampak Mama Mikha muncul sambil tersenyum ketika melihat Ila.

"Loh, ada Ila? Ayo, masuk! Kita makan sama-sama, yuk!" ajak wanita ayu itu sambil merangkul cewek yang hanya setinggi telinganya menuju ruang makan di belakang. "Tante hari ini masak sayur asem sepanci gede. Kesukaan kamu, kan?"

Ila terkekeh dan mengangguk. "Tante kok tahu aja Ila mau numpang makan di sini? Kan, jadi malu."

"Soalnya tadi pagi sempat pas-pasan sama mamamu yang baru mau keluar. Katanya ada acara di Bandung sampai sore nanti."

"Kalau gitu, sering-sering aja kali, ya, Tan!"

Keduanya tertawa bersama hingga melupakan Mikha yang hanya menggelengkan kepala melihat keakraban keduanya.

Keceriaan itu berakhir ketika Papa Mikha ikut bergabung makan siang. Ila yang tadinya terus berceloteh pun terdiam dan lebih banyak menunduk. Sungguh, aura Papa Mikha lebih menyeramkan dari pada biasanya.

"Makan yang banyak, Ila. Jangan malu-malu, loh," pinta Mama Mikha yang diangguki Ila dengan kaku.

***

Mikha mengetuk pintu ruangan kerja papanya yang berada di ujung kiri, bersisian dengan tangga dan kolam renang. Ketika terdengar perintah masuk, ia pun membuka pintu dan berhadapan lurus dengan papanya yang tengah mencoret sesuatu di balik meja kerjanya.

"Duduk!" perintahnya tanpa menoleh dan dituruti Mikha.

Setelah papanya selesai menandatangani sebuah dokumen, papanya meletakkan map tersebut dengan rapi di sisi kanannya, lalu menoleh ke Mikha yang seketika menunduk.

"Papa dengar kamu masih belum memutuskan untuk ikut klub apa. Bukannya Papa sudah memintamu untuk masuk klub debat? Atau... kamu diam-diam mau ikut nari?"

Mikha menggeleng. "Aku ingat kok, Pa. Memang belum kuisi aja. Batas kumpulinnya Jumat ini."

Pria itu mengangguk. "Kamu ingat baik-baik, ya! Sampai Papa lihat kamu berani-beraninya menari lagi, kamu akan tahu akibatnya."

Mikha masih tetap menunduk. Kedua tangannya di paha mengepal kuat. Rahangnya mengeras, menahan semua emosinya.

"Sekarang kembali ke kamarmu dan belajar."

Mikha nggak menjawab, tapi menuruti perintah apanya. Pokoknya, apa pun perintah sang papa, itu adalah titah yang nggak boleh dibantah.

***


Go Mikha, Go!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang