🌷LOVE SHOOT : LIMA🌷

19 2 1
                                    

Happy reading 🌷
Tandai typo

Ruang siaran belum ada yang berubah dari terakhir kali kami tempati, pada siang ini saat jam istirahat kedua yang lumayan panjang, kami gunakan untuk persiapan re-organisasi seperti yang Kak Gibran katakan. Aku, dan Jia sedang menyusun kertas-kertas teks pembantu kami saat siaran. Aku mengumpulkan nya menjadi satu, memasukkan nya kedalam map biru. Sementara itu Wetno sedang mengetes radio siaran. Nafis anak kelas sepuluh yang baru saja masuk ke Deantara siaran sedang sibuk dengan lagu yang akan diputar diruang siaran karena perintah Tirta.

Tirta sendiri, mengotak-atik komputer dihadapannya. Lalu, saat lagu Ocean & Engines milik NIKI berputar, kami sejenak menghentikan gerakan dan sedikit bersenandung. Aku membuka lemari yang ada di pojok ruang siaran, sedikit melihat apa yang dilakukan Tirta karena ia terlihat sangat sibuk. Namun, aku berdecih saat dia malah menggunakan komputer untuk bermain, jelas Jia dan Wetno tidak dapat melihatnya karena letak komputer membelakangi mereka. Aku sedikit menyentak map abu yang berisi catatan keuangan keatas kepala Tirta hingga ia mengaduh kesakitan.

"Sirik!" katanya setelah tak berhasil menggaet tanganku untuk ia beri pelajaran.

"Kerja! Biar nggak makan duit haram." Kataku.

"Kayak dibayar aja," ungkapnya kecil.

Aku terkekeh. Lalu merapikan segala map yang berceceran dilemari kayu nomor dua,  "Kertas pendaftaran kita dimana, sama selembaran promosi." Aku bertanya pada Jia, Wetno atau entah Tirta yang mendengarkan, lalu Wetno meninggalkan pekerjaannya yang dia kerjakan sekitar setengah jam yang lalu.

"Buat apa?" tanya Wetno saat berjongkok ikut mencari.

"Mau gue kumpulin jadi satu, kertas pendaftaran sama selembaran promosi biar nggak berceceran."

"Sebentar saya cari dulu." Aku lantas meninggalkan Wetno yang sedang mengeluarkan setumpuk kertas dari lemari paling bawah, kemudian kembali menemui Jia. Terakhir kali selembaran itu berada ditangan Anggun, yang mungkin kali ini belum sempat hadir, nanti aku berniat untuk ke kelasnya untuk meminta penjelasan.

Aku membantu Jia men-sortir beberapa lembaran kertas yang sudah tak terpakai, kemudian membuangnya kedalam kotak sampah. Nafis terlihat juga ikut membantu, ia menyapu dari pojok hingga pintu keluar dan sempat bersiteru dengan Tirta yang terkena sodokan dari kayu sapunya. Menit-menit mulai terlewati, lagu pun semakin berganti, kini berputar lagu milik Hindia yang berjudul Cincin. Pada saat lagu itu memenuhi ruang, suara berat Wetno dan Tirta pun ikut memenuhi.

Kami duduk di bangku masing-masing, dalam ruang siaran terbagi lagi menjadi dua ruang yang diberi sekat, bagian lebih kecil dari ruang yang kami tempati adalah ruang utama untuk siaran, ruang yang biasanya aku gunakan untuk siaran bersama Jia, dan ruangan yang kami tempati ini ruang untuk monitor, di pojok kanan jendela ada lemari besar yang sekarang masih tak karuan bentuknya akibat ulah Wetno yang ku suruh tadi. Dan dua kaca besar menghadap kelapangan sepak bola. Lalu ada meja panjang ditengah-tengah dan beberapa kursi.

Ada beberapa piringan hitam yang menggantung di dinding, dan meja yang ditaruh di samping pintu. Lalu ada si koki —ikan yang dibelikan Wetno untuk menjaga ruang siaran — diatas meja tersebut. Umurnya sudah hampir satu tahun, dan Wetno belum terpikirkan untuk membelikan si koki pasangan.

Sesaat aku memperhatikan wajah satu-persatu dari mereka, kemudian mengalihkannya kepada ponselku. Sesaat suara Nafis menginterupsi ku untuk mendongak dan melihat apa yang akan dia katakan. "Kak, temen gue ada yang mau join Deantara."

Aku mengangguk, "bagus itu, kapan dia mau join?"

"Katanya secepatnya," ujarnya. Aku mengangguk, "masalah Diklat gimana Kak?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LOVE SHOOTWhere stories live. Discover now