03

307 44 2
                                    

Membolos.

Rasanya ini kali pertama bagi Shinyu melakukannya. Selain karena memang dia merasa bosan dengan mata pelajaran kimia, Shinyu juga dipermudahkan dengan akses keluar-masuk sekolah yang dibiarkan terbuka begitu saja tanpa adanya satupun penjaga.

Alasannya klise, ‘menghindari Dohoon’ adalah pemicu utama dari niat tak terpujinya tersebut. Cukup sekali dimana Shinyu nyaris menghampiri Dohoon yang seketika membuang muka ketika mereka saling tatap hanya berkisar sekian detik.

Shinyu pikir, kepindahannya ini akan menjadi suatu awal yang baik bagi terbangunnya hubungan mereka yang telah renggang. Keinginannya hanya agar mereka setidaknya bisa berteman kembali, tidak lebih.

Namun, agaknya Dohoon tak ingin memulainya kembali. Shinyu lupa jika pemuda itu memegang teguh prinsip bahwa dia tidak akan membaca ulang buku dengan akhir yang menurutnya buruk untuk yang kedua kali.

“Sayang tahu kalau bukunya nggak kamu baca lagi.”

“Mau gue baca beribu-ribu kali juga ending-nya nggak bakal berubah. Kalau lo pengen, ambil aja. Gue nggak tertarik baca dimana dia lebih memilih hidup bareng si bangsat dan ninggalin orang yang jelas-jelas udah berkorban banyak buat dia. A stupid character like him doesn't deserve any novel. Udah gila nih penulisnya sampai bikin karakter tolol kayak dia justru jadi pemeran utamanya.

Shinyu tanpa sadar tersenyum masam mendengarnya. Dia baru ingat bahwa cerita itu mirip sekali dengan apa yang dialaminya saat ini dan menyedihkannya, dia diposisi sebagai karakter yang paling dibenci oleh Dohoon kala itu.

“Apa, sih? Serius banget kamu. Cuma alur novel, kok. Nggak usah sampai diambil hati juga kali.”

“Fiksi gitu juga pasti penulisnya merefleksikan tulisannya dari dunianya sendiri. Lo kalau ketemu jenis orang kayak gitu juga amit-amit, ‘kan? Bodoh banget jadi manusia.”

Terik matahari sedari tadi mengiringi perjalanannya. Merasa mulai pusing, Shinyu putuskan untuk menepi dan berteduh di teras milik salah satu toko yang tengah tutup.

Kekeh pelan teralun merdu keluar dari mulutnya. “Iya. Aku emang bodoh,” gumamnya pelan sembari menunduk dan memperhatikan halaman yang dilapisi oleh semen tersebut dengan pandangan kosong.

“Baru sadar sekarang?”

Shinyu mengangguk samar. Masih dalam posisi semula, ia sadar bahwa Dohoon telah berdiri di depannya beberapa menit yang lalu. Rasa canggung menyelimuti interaksi singkat mereka, yang mana sukses membuat Shinyu ragu untuk sekedar mengangkat kepala.

Dohoon mendengkus kasar. Usai mengeluarkan decakan sebalnya, pemuda itu kini putuskan untuk duduk berjongkok guna menyamakan tinggi mereka saat ini. Jujur saja, dia penasaran ingin melihat bagaimana rupa Shinyu yang begitu betah menyembunyikan wajahnya melakui poni panjangnya itu.

“Aku minta maaf,” ucap Shinyu sepelan mungkin. “Nggak apa kalau kita nggak bisa kayak dulu lagi, tapi seenggaknya, terima maafku aja, boleh? Aku janji bakal ninggalin—”

“Lo pikir bakal segampang itu?” selanya frustasi. Rahangnya tampak mengeras, begitu emosional mendengar penuturan Shinyu yang bukannya menyelesaikan masalah malah justru memperburuk keadaan. “Kalau nggak gue samperin gini, lo nggak bakal ada niatan buat minta maaf ke gue secara langsung juga, ‘kan?”

Shinyu seketika merasa gentar akibat penjelasan Dohoon yang kian meninggikan suaranya seiring dengan seberapa besar rasa sesak yang menghinggapi hatinya.

“Kita bukan anak kecil lagi. Dengan lo ngehindarin gue kayak gini, semua kesalahpahaman kita nggak bakal lurus gitu aja. Yang ada justru gue makin susah nyari alasan buat maafin lo.”

Yang dirasakan Shinyu tidaklah benar. Dohoon malah berusaha sekuat yang ia bisa agar tak sepenuhnya melepaskan amarahnya, walaupun jauh didalam dirinya kini terasa seperti akan meledak detik itu juga. Pengendalian dirinya masih dibutuhkan agar segala ulahnya kini tak akan membangkitkan trauma Shinyu.

Jangan sampai membentaknya.

Shinyu mulai termenung. “... Dulu aku sejahat itu, ya?” tanyanya dengan nada gemetar. Birainya masih dipaksakan untuk tersenyum. Selain Dohoon, Shinyu juga tengah berusaha agar tak terlihat rapuh dimata pemuda itu.

Dohoon menghela napas berat. Melihat Shinyu seperti ini malah kian menambah rasa bersalahnya. “Lo nggak jahat, tapi lo egois,” jawabnya sembari menaruh telapak tangannya di atas puncak kepala Shinyu. Dia bahkan tak bisa menahan dirinya agar tak ikut tersenyum!

Padahal bagi Dohoon, Shinyu memang definisi orang jahat yang sebenarnya. Mau bagaimanapun kesalahannya, entah itu akan sefatal apa kelak menantinya, segala perbuatan Shinyu selalu bisa dimaafkan dengan mudah olehnya.

Dohoon benci ketika melihat Senyum Shinyu terpatri, dia justru kesulitan untuk mencari cara agar bisa menutup hatinya kembali. Dengan atau tanpa adanya kunci, Shinyu bisa dengan mudah menerobosnya sesuka hati.

Dohoon benar-benar tak sengaja telah memantapkan hati hanya demi Shinyu seorang hingga nanti.

.
[Tbc]
.

punten agak panjang, aku kebablasan ngetiknya, huhu ㅠ

punten agak panjang, aku kebablasan ngetiknya, huhu ㅠ

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Right Here +DoshinWhere stories live. Discover now