5. Pertemuan

51 29 27
                                    

Daniel mengguncang tubuh Amora, karena mendapati gadis itu mengigau dalam tidurnya. Ia khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mau bagaimanapun mereka hanya berdua dalam satu ruangan.

Terlebih lagi, seorang laki-laki dan perempuan.

"Amora!" lelaki itu menepuk pundak Amora berkali-kali, hingga akhirnya gadis itu terbangun dengan raut wajah yang bingung.

"Sumpah, lo kenapa sih? kebiasaan lo tidur, jelek banget." dirinya mencibir Amora yang susah dibangunkan.

Amora menatap sekelilingnya, ia lupa bahwa dirinya tengah berada di ruangan perpustakaan saat tadi. Namun kali ini, ia sedikit memikirkan tentang mimpi yang ia alami tadi.

Amora mengerutkan dahinya, ia menggigit bibir dalamnya, terlihat seperti sedang mengingat sesuatu. Lama kelamaan, kepalanya terasa pusing yang teramat sangat. Dirinya bingung kenapa ini bisa terjadi dan seolah memiliki keterkaitan masing-masing.

Ia berharap semoga saja itu hanya mimpi biasa. Sungguh, Amora takut kejadian tersebut berkaitan dengan hantu dan sebangsa dunia ghaib lainnya.

Karena terlalu lama berpikir, lelaki disampingnya menepuk bahu gadis itu, membuat Amora kembali tersadar dan tertawa kecil. "Maaf, pusing banget gue."

Jam menunjukan pukul 10 malam, hari yang sangat gelap dan suram menyelimuti mereka berdua. Amora sedikit terkejut melihat jam, ternyata dirinya tidur cukup lama.

Keduanya berjalan berkeliling di dalam Perpustakaan yang cukup besar itu.

Hingga Amora menunjuk pada bagian ujung ruangan pada Daniel yang sedang mengecek jendela depan di dekat pintu. "Gue liat jalan keluar." Amora menarik kursi yang lumayan tinggi, untuk dijadikan pijakannya.

"Eh bentar, kita keluar lewat sana?" Daniel menunjuk pada jendela yang Amora maksud, jendela yang tidak ada jeruji besi seperti yang lain. Mudah saja untuk keluar, namun tempatnya yang tinggi dan juga ukurannya yang hanya muat satu badan pas. Membuat Daniel sedikit menelan salivanya.

"Iya, kenapa? lo takut?"

Daniel terlihat ragu, "Engga, cuma.. gimana? kita pecahin kacanya?"

Pertanyaan Daniel membuat Amora berpikir sejenak. Benar juga, jendelanya memang tidak ada jeruji besi. Namun jendela ini tidak bisa dilewati, karena tidak bisa dibuka. Hanya untuk celah angin masuk.

Cara satu-satunya adalah tentu saja dengan cara memecahkan kacanya. Memang agak menakutkan, namun mau bagaimana lagi? hanya itu yang mereka bisa.

Setelah keduanya mempertimbangkan, Daniel dengan berani mengatakan bahwa memecahkan kacanya adalah kunci. Amora yang sedikit takut pun menjadi yakin, mengingat dirinya harus bermalam disana hingga bertemu pagi. Tentu lebih menakutkan lagi.

"Oke wait, gue cari batu."

Amora memicingkan matanya, "Batu? emang ada?"

"Ada, nih." Daniel menunjukan sebuah batu hiasan di dekat rak buku bagian sosiologi. Sebenarnya, itu adalah batu hiasan karya murid sebelumnya. Walau hanya sebuah batu, namun benda itulah yang mereka butuhkan.

Daniel mengambilnya dan berancang-ancang untuk melemparkannya tepat pada kaca yang ditujunya.

*Prang*

Lelaki itu melemparkannya tepat sasaran, kaca tersebut pecah berkeping-keping. Menimbulkan suaranya yang sangat nyaring.

Mereka tidak terlalu memperdulikannya, yang penting bisa keluar dari ruangan itu. Walaupun mungkin akan disangka maling jika diketahui oleh orang lain.

"Ladies first." Daniel memegangi kursi tinggi untuk dinaiki Amora terlebih dahulu. Amora menerimanya, lalu menaiki dan berhasil memasuki jendela yang besarnya hanya muat untuk satu orang.

Fate Of Destiny Where stories live. Discover now