9. Ostaria's Cafe

15 8 10
                                    

"Apa?" Amora terkejut, karena barang yang ia cari menang tidak ada disana.

Meri mencari hingga ke pojok ruangan, Wina yang mencari di setiap rak pun tidak menemukannya. Jam sudah menunjukkan pukul 16:30 WIB, sang langit kian berganti menjadi warna jingga. Menunjukan bahwa hari sudah semakin menggelap.

"Anak-anak sudah ketemu? mau ibu tutup." ucap pengurus perpustakaan yang baru untuk memastikan, karena khawatir ada kejadian serupa seperti tempo hari yang tidak diinginkan.

Dirasa tidak kunjung menemukan buru yang dicari, mereka pun memutuskan untuk pulang. Wina pamit lebih dulu, karena supirnya sudah datang menunggunya.

Begitupun Amora yang memang harus pergi kerja sambilan di Cafe tempatnya bekerja. Mereka pun berjalan keluar menuju gerbang sekolah.

Melihat Amora yang hendak menunggu angkot, Meri tersenyum setengah melirik abangnya. "Abang, gak mau anter kak Amora?" tanyanya.

"Hah? kenapa harus abang?" Morgan bingung, "Abang kan sama kamu dek." lanjutnya.

Meri menepuk dahinya pelan, heran dengan jawaban abangnya. Abangnya itu sangat tidak peka, pikirnya.

"Kak Mor! abang mau nganterin katanya nih!" pekik Meri cukup kencang pada Amora yang sedang berdiri di dekat jalan.

Amora yang terkejut, membalikan tubuhnya pada asal suara. Morgan yang terkejut langsung menoyor kepala adiknya yang sangat iseng itu. "DEK!"

"Gak usah Mer, aku mau ke Cafe." balas Amora.

"Kak Amora ngapain jam segini ke Cafe?"

"Kerja sambilan. Kalian duluan aja."

Meri terdiam sedikit seperti sedang berpikir, tangannya berpose bagaikan sedang memegang dagu ala seorang detektif. "Sama abang aja, kak. Dianter!" dirinya tetap berpegang teguh pada perkataannya.

Amora merasa tidak enak pada sosok lelaki dihadapannya, ia terus menolak karena tidak mau merepotkan. Di sisi lain, dirinya tidak enak pada permintaan Meri yang memang bermaksud baik padanya.

Mau tidak mau, Morgan yang malas berdebat dengan adiknya itu menuruti ucapan Meri. Walaupun sedikit terpaksa.

Mendengar jawaban Morgan, Meri tersenyum menunjukan deretan giginya, ia pun menelpon mamanya dan diiya-kan oleh seseorang di seberang sana. Amora hanya tersenyum kaku, ia pasrah.

° ° °

Meri sudah pulang dijemput mamanya, tersisa Amora yang diam mematung ditempat karena tidak tahu harus bagaimana. Sejujurnya, ia takut akan terjadi apa-apa jika bersama dengan lelaki didekatnya itu.

Lelaki bernama Morgan itu membawa motornya menuju Amora yang menunggunya di depan gerbang. Dengan hati-hati, ia melihat sosok lelaki dihadapannya yang sudah tiba dengan jaket kulit dan helmnya yang senada.

Dirinya menyuruh Amora untuk naik ke motornya, ia akan mengantar Amora menuju Cafe yang dituju. "Perempuan kant-maksudnya, Amora. Ayo naik." ia meralat ucapannya.

Amora menaiki motor Morgan dengan hati-hati, kakinya memijak injakan motor dengan tangannya yang memegang bahu lelaki dihadapannya.

Morgan menanyakan terlebih dahulu keberadaan Cafe tempat Amora bekerja, supaya mempermudahnya saat dijalan.

Motor dilajukan dengan tenang sepanjang jalan, angin sepoi-sepoi dan sejuknya sore hari itu, kian terasa walau sudah dibalut jaket. Langit yang berwarna jingga, membuat siapapun terpikat dengan pesona indahnya. Begitupun dengan Gadis di belakang Morgan yang kini terlihat menikmatinya.

Tanpa terasa, Amora memejamkan matanya sesaat.

"Kapan kau akan mulai menyukaiku, tuan putri?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fate Of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang