07. Mengabadikannya Dalam Sebuah Karya

108 71 9
                                    

"Widiiih, sarapan enak nih." Melihat ada banyak sajian di meja makan, mata gue tentu berbinar. Maka, gue meletakkan tote bag di kursi sebelah dan duduk. Lalu dengan cepat meraih piring dan mulai mengambil nasi.

"Ayamnya jangan dihabisin, kasih Papah satu sini," ucap Papah di seberang gue.

Mendengar itu, gue memicingkan mata. "Enak aja."

Papah terkekeh sejenak. "Waktu makan semangatnya minta ampun. Giliran disuruh masak aja nggak bisa kamu."

"Ish, Papah jangan mulai deh!" protes gue. Beliau ini pagi-pagi gini udah mancing badmood aja. Lantas dengan begitu, kami sama-sama menjalani sarapan dengan tenang.

"Nanti Papah langsung berangkat kerja aja, ya, Ana berangkat sama temen lagi soalnya," Di tengah-tengah kegiatan kami melahap makanan masing-masing, gue membuka suara lagi. Dan mendengar itu, Papah mengangguk.

"Habis kuliah nggak langsung pulang?" tanyanya

Gue berpikir sesaat. "Nggak tahu nanti."

"Jangan malem-malem pulangnya, ya. Papah nggak suka kamu pulang kayak semalem."

"Orang semalem Ana sampai rumah baru abis maghrib, kan?" Gue mengangkat kedua alis.

"Tetep aja, malem itu namanya."

"Ck, itu masih sore tahu."

"Siapa, sih, nama temen kamu? Kenapa nggak mau ngenalin ke Papah? Cewek apa cowok?"

"Papah cerewet banget, deh," protes gue, sebelum akhirnya menenggak segelas air di atas meja.

"Cowok, nih, pasti. Kentara banget nyembunyiin ke Papah sampe sebegitunya. Kenapa? Papah nggak ngelarang kamu buat pacaran, loh, asal nggak mengganggu kuliah kamu aja. Iya, kan, Mah." Usai mengatakan itu, Papah menyuapkan nasi lagi ke dalam mulutnya. Di sebelahnya, Mamah mengangguk. Dia nggak bilang apapun sementara pandangannya menatap gue.

"Iya, cowok. Tapi bukan pacar, cuma temen, kok, Pah. Beneran. Kita aja baru kenal baru-baru ini," jawab gue. Papah lalu mengangguk mengerti. "Nanti kalo beneran udah deket banget pasti Ana kenalin, kok."

Lalu tak lama setelah itu, suara bel dari pintu depan terdengar. Untuk sesaat, kami saling pandang satu sama lain. Mamah lantas berdiri. "Siapa yang dateng pagi-pagi begini?" gumamnya, lalu berjalan ke depan.

Gue mengecek ponsel sejenak. Masih belum ada pesan apapun dari Aji yang mengatakan kalo dia udah di jalan atau mungkin udah di depan. Jadi, gue memilih untuk meletakkannya lagi di atas meja. Tapi begitu Mamah memanggil dan gue menoleh ke belakang, kedua mata gue sontak membola begitu menemukan laki-laki itu justru berdiri tegak di sebelah Mamah.

"Ini temen kamu udah jemput. Yuk, sarapan dulu, yuk!" kata Mamah.

"Nggak usah, Tante, saya udah sarapan," tolak Aji dengan nada lembutnya.

"Dikit aja, nggak pa-pa. Masih pagi ini, nggak bakal telat."

"Ini, temen yang kamu maksud?" tanya Papah sembari setengah berbisik. Sesaat, gue menoleh menatap dia. Dan gue belum sempat menjawab ketika dalam sekejap mata, Papah berdiri dan memasang senyuman ramah. "Sini, sarapan dulu. Nggak pa-pa, nggak usah sungkan-sungkan," ucapnya.

Lucid Love ♡ | Park JisungWhere stories live. Discover now