Bab XX : Tak tenang

210 13 4
                                    

Dua jam pertama Rendi tak kunjung datang ke kelas. Aku larut ke dalam pelajaran yang dibawakan guru sekolah. Begini-begini juga aku bukan salah satu dari mereka yang bertingkah bodoh tanpa mengikuti mata pelajaran.

Perutku terasa amat melilit. Seakan tak rela membiarkanku tenang menyelami materi pelajaran. Siska cukup tahu diri untuk tidak mengganggu. Kami bertingkah seperti orang yang tak saling mengenal satu sama lain.

Tiap sesi pelajaran diisi oleh guru yang berbeda. Sistemnya mirip seperti perkuliahan. Ada semacam jeda di tiap pergantian pengajar. Kemudian pada jam ke tiga, barulah Rendi menunjukkan batang hidungnya. Dia duduk di sampingku tanpa sedikit pun memberikan penjelasan.

Aku merasa segan untuk memulai percakapan. Mungkin dia memang benar-benar marah padaku.

Lonceng istirahat berdentang memecah kebosanan. Guru yang mengajar cukup tahu diri hingga rela menghentikan tiap kicauan. Sedari tadi dia hanya membanggakan pengalaman romansa di masa keemasan.

Tak lebih dari lima menit, kulihat seisi kelas sudah hening tak berpenghuni. Satu-satunya hal yang tertangkap di telinga hanyalah gesekan kertas dari halaman buku.

Siska masih tinggal di sana; menyendiri dalam sunyi, mengubur batang hidungnya ke dalam sela buku, tenggelam dalam lautan kata, larut menuju imajinasi. Aku baru tahu bahwa dia menyenangi novel—persis sepertiku.

Andai kami memiliki waktu lebih lama untuk saling mengenal satu sama lain.

...

Ukh.

Selangkanganku terasa banjir. Rasa lengket di sana sungguh membuatku tak nyaman. Impuls nyeri di sekitaran pinggang juga masih saja mengganggu. Menjadi perempuan itu ternyata begitu merepotkan.

Aku tak tahan. Langkahku lantas mengayun mengantar pergi dari sana. Sesaat kupergoki raut semendung awan di wajah Siska. Sifat murung dan penyendiri itu bukan watak aslinya. Masalah kemarin ternyata amat mengganggunya.

Perutku terasa keroncongan, jadi hal alamiah pertama yang kulakukan pastilah pergi menuju sumber makanan. Setibanya di kantin, bisik-bisik para siswi tanpa sengaja meluncur masuk ke dalam telinga. Mereka mengagumi Rendi seperti para fans menatap idolanya. Pandanganku secara refleks menyapu sekitar, mencari sosok yang tengah dibicarakan.

Ah, di sana rupanya. Di antara kerumunan murid yang sedang menyantap makan siang, tampak sesosok pemuda dengan rambut jabrik bergelombang. Di balik kemeja ketat yang ia kenakan, tercetak beragam tonjolan otot kekar.

Jarang sekali siswa SMA memiliki tubuh atletis seperti dia.

Tanpa sadar mulutku tertarik ke samping, membayangkan kembali perut seksi berbentuk 'roti sobek' itu. Hanya aku yang pernah menyentuhnya secara langsung.

Tadinya aku bersikap riang seraya langkah ini mengayun memperpendek jarak.

Namun, sekarang niat itu terhenti dengan paksa. Kulihat Cindy datang menghampiri Rendy dengan semangkok bakso di tangannya.

Mereka makan bersama? Padahal baru tadi pagi keduanya dikenalkan satu sama lain. Sekarang dua orang itu cukup akrab untuk menghabiskan waktu berdua. Apa yang sebenarnya terjadi?

Mendadak saja pikiranku hilang ketenangan.

Haruskah kuhampiri keduanya? Jika iya, ucapan apa yang harus kulontarkan? Aku merasa canggung, tak tahu harus bersikap apa.

Ah, mungkin aku harus kembali meminta maaf pada Cindy. Semoga itu bisa menyelesaikan kesalahpahaman di pagi tadi.

Maka dengan segenap keberanian diri, kusapa dua orang itu.

Aku (Bukan) Perempuan..!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora