Bab XXVIII : Pengakuan Cinta

221 11 2
                                    

Tetes air meluncur jatuh dari rimbun dedaunan. Ranting basah bergoyang pelan ditiup angin sepoi. Rambut poniku tergerai lurus. Ujungnya menyapu hidung merangsang geli.

Kelopak mataku terasa berat, sekelumit kantuk masih tersisa. Pikiran terasa kosong seraya telinga ditulikan suara mendenging. Butuh waktu lama hingga akhirnya kesadaranku ditarik paksa menuju realita.

Pandanganku masih terasa buram. Kudapati lengan kananku terangkat tinggi. Bagian siku di atas sana terselip masuk,mengait pada cabang pohon berisi permukaan kayu kasar. Kulit seorang manusia tentu kalah telak ketika bergesekan dengan permukaan keras itu. Alhasil berbagai luka tercipta dalam bentuk goresan menyakitkan.

Darah di lenganku mengalir lambat menyusuri siku hingga menuju bahu. Bau amis tercium di hidung. Aku bisa merasakan bagaimana cairan hangat itu mengumpul dan bermuara di cekungan tulang selangka.

Kenapa orang-orang di dasar jurang—penuh rumput hijau nan basah—terlihat kecil seperti mainan? Kenapa puncak pepohonan terasa dekat di hadapan wajah? Buah rambutan berwarna merah bahkan bertengger santai dalam jarak jangkauan lengan. Samar kulihat di balik mekar buah itu terdapat sekumpulan semut sibuk berlalu lalang.

Eh? Aku ada di atas pohon?

Pohon dengan batang kokoh berukuran besar, tepatnya. Bagian akarnya mencengkeram jauh ke bawah tanah, menahan posisi pohon meski berdiri miring pada tebing pinggir jalan. Tanah sekitarnya dipenuhi oleh semak belukar.

Aku tersangkut di ranting salah satu pohon rambutan. Lenganku menjadi satu-satunya penahan dari jurang sedalam tujuh meter tempat angkot bersandar.

Di bawah sana terdapat puluhan warga sibuk mengevakuasi para korban. Tak satu pun dari mereka yang menyadari keberadaanku.

Rasa nyeri perlahan datang menyapa, sedari tadi aku belum sadar sepenuhnya. Perih di kulit lengan seakan menjadi salam pembuka. Rasa ngilu menyerang hebat hingga memaksa napas untuk memburu cepat.

Udara masih terasa dingin. Gerimis kecil mengguyur pakaian putih abu-abu yang kukenakan. Sekuat tenaga aku mengeratkan rahang, menggigit gigiku sendiri seraya merintih menahan pilu. Susah payah aku menengadahkan kepala, memeriksa kondisi lengan kanan yang mengait pada ranting berukuran besar. Napasku serasa tertahan kala menyadari siku lenganku menekuk ke arah yang berlawanan.

Sakit.

Sakit.

Sakit sekali!

Air mataku mengucur tak tertahankan. "Aaaa...?" Mulutku lantas membuka setengahnya,"...aaaaaaaaah!?"

Jeritan itu akhirnya membuat seseorang tersadar. Mereka sontak bergerak bahu membahu berusaha menyelamatkanku. Orang-orang itu terlihat kikuk saling memerintah untuk mencari sebuah tangga.

Kakiku mengayun-ayun tak terkendali, sebagai refleks dari kepedihan yang tak tertandingi. Tak sabar rasanya untuk tiba di bawah dan terbebas dari siksaan ini.

"Dasar monyet lamban! Kenapa kalian lama sekali?!" batinku mengumpat tiada henti, meski yang terdengar keluar hanyalah rintihan kecil.

Butuh waktu lama hingga akhirnya aku berhasil dievakuasi.

...

Raung sirene ambulans terdengar keras memenuhi kedua telinga. Tubuhku bergoyang tiada henti. Kendaraan ini memacu kecepatan menghindar dari kemacetan. Supirnya fokus menggenggam setir demi mengantar para korban menuju rumah sakit terdekat.

Aku harus berbagi tempat dengan korban lain. Salah satunya merupakan anak kecil berbalut kaos butut. Kulihat kaki kirinya patah menggelayut. Tak ada ekspresi takut maupun kalut. Pandangannya menatap gamang menandakan pikirannya jauh mengawang.

Aku (Bukan) Perempuan..!Where stories live. Discover now