Bab XXV : Pencak Silat

154 14 6
                                    


Sebenarnya aku ingin melanjutkan ini. Lenganku terasa gatal, ingin sekali menyusup ke dalam roknya. Namun, suara langkah kaki dan keramaian di luar menyadarkanku akan satu hal.

Seperti yang Siska bilang, tempat ini tidak 'aman'. Beberapa anggota perguruan bisa datang kapan pun tanpa bisa diduga.

Junior-junior dari sekolah tetangga—mereka masih kelas SMP—datang untuk berlatih di sini.

"Oh, ada Kak Siska." Salah seorang dari mereka datang menghampiri, lalu mencium tangan selayaknya sopan santun siswa muda kepada yang lebih tua. Seisi rombongan kemudian ikut-ikutan datang memberikan salam.

Siska kemudian bangkit kala menyadari kedatangan Kang Iman, instruktur dari perguruan Silat Bima Suci. Gadis itu balik memberikan salam dengan mencium lengan gurunya.

"Ada Dian juga rupanya," ucapnya menyapa.

"Halo, Kang," jawabku sekenanya. Dia mungkin tak sadar, tapi aku jelas memerhatikan bagaimana pupil matanya menelusur jauh memindai tubuhku dari bawah hingga ke atas.

"Siska mau melatih junior?" tanya Kang Iman.

Gadis itu menjawab dengan gelengan kepala, "Aku..., lagi kurang enak badan."

"Oh, kalau Dian? Barangkali mau ikut latihan?"

"Waduh, ini badanku lemah kang. Dibawa sit up dua kali aja langsung ngos-ngosan."

"Hahaha, kamu terlalu berat kali sama dua bongkahan di sana," candanya seraya menunjuk dadaku.

"Xian Jing," jawabku disertai tawa.

Kang Iman kemudian melengos pergi.

Jadi, di sinilah aku dan Siska berada. Kami berdua duduk canggung di atas matras sembari memerhatikan para junior yang dilatih gerakan-gerakan khusus untuk ujian nanti.

Perguruan silat kami memiliki tradisi khas ketika ujian kenaikan pangkat— atau sabuk lebih tepatnya. Disebut dengan ujian Latbintal, akronim dari Latihan Bimbingan Mental. Para junior akan menelusuri hutan di tengah malam, lalu mereka harus melewati pos yang dijaga oleh para senior.

Nah, senior-senior ini akan 'menguji' mereka. Entah lewat menyelesaikan puzzle, dibentak-bentak, bahkan menerima hukuman fisik berupa push up. Intinya, kami harus sepenuh hati menerima rundungan verbal.

Di kala itu—aku dan Siska masih ada di posisi junior—ada kejadian berupa salah satu senior yang hendak menakut-nakuti lewat kostum pocong. Lalu tanpa diduga, muncul pocong beneran. Makhluk astral itu sungguh bisa terbang meliuk-liuk di udara, melewati pepohonan.

Dan tahu yang bikin aku geleng-geleng kepala?

Si Siska ini, alih-alih menjerit takut seperti yang lain, dia malah tertawa terbahak-bahak.

Di beberapa pos lain juga terjadi hal serupa, alih-alih senior mem-bully junior, kami berdua malah jadi kuda hitam yang memenangkan tantangan sparring hingga membuat mereka semua ketakutan.

Kemampuan bela diri Siska itu abnormal. Banyak yang menuduh dia sebagai reinkarnasi dari Si Pitung di masa lampau.

Pun begitu, dunia itu ternyata begitu luas. Sehebat-hebatnya Siska dalam pencak silat, dia masih bisa dikalahkan dalam ajang turnamen selevel provinsi. Di kala itu dia menangis tersedu-sedu, tak terima kalah hanya karena poin. Sempat terbesit dugaan wasit yang berbuat curang karena menerima suap.

Pada akhirnya, aku berhasil menenangkan dia.

Kami duduk berdua, di bawah guyuran hujan deras di salah satu sudut luar gelanggang pertandingan. Suasana sepi membuat kami berdua hanyut dalam sebuah ciuman. Kala itu aku dikuasai nafsu berahi sampai ke ubun-ubun. Tak sedikit pun kupedulikan dia yang masih tersipu malu, enggan untuk melangkah lebih jauh.

Aku (Bukan) Perempuan..!Where stories live. Discover now