Bab XXVII : Curiga

138 10 2
                                    

Di ruang guru pasti ada data-data tentang para siswa. Tak peduli dengan cara apa, pokoknya aku harus menggali segala informasi tentang Siska.

"Eh iya, dia 'kan anak kepala sekolah?"

Kenapa aku baru sadar sekarang? Kok bodoh sih?

Mengorek informasi dari salah satu guru pun seharusnya cukup untuk mendapatkan lokasi kediaman beliau.

Maka seketika itu pula tubuhku berbalik arah. Sol sepatu hitam yang kukenakan menabrak permukaan kubangan air berlumpur. Tak ayal, cairan kotor itu menciprat keras hingga mengenai murid sekitar. Beberapa dari mereka ada yang menggerutu. Tapi aku tak peduli. Pergerakanku cukup lincah hingga sanggup berkelit menembus padatnya situasi. Walau tentu saja, pembalut di balik celana terasa mengganjal hingga menyulitkanku untuk berlari.

Sekilas pandanganku menangkap basah Rendi dan Cindy. Dua orang yang kusukai itu berjalan berdampingan dengan wajah ceria di bawah payung teduh. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Kami berpapasan dalam jarak yang cukup dekat. Bibit kecemburuan tumbuh mekar di dalam dada. Ingin sekali rasanya untuk mengerem, lalu bergabung untuk merecoki kemesraan.

Namun, itu bukanlah prioritasku untuk sekarang. Pikiranku penuh oleh imaji berbentuk wajah Siska. Napasku memburu dengan cepat. Mudah sekali tubuh ini untuk merasa lelah.

Baru sekarang aku merasa bahagia ketika melihat sosok guru di kejauhan. Tanpa membuang waktu, kusambar saja dia seraya melontarkan pertanyaan, "Bu Guru, tahu alamat rumah Pak Diki?"

Balutan kerudung di kepala tak sanggup meredam kecantikan paras guru muda itu. Alisnya mengerut menyiratkan keraguan. "Untuk apa?"

"Aku ingin menjenguk Siska. Dia katanya sakit."

Butuh jeda selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia memberikan jawaban.

Dia bukan menimang untuk tidak memberi tahu, melainkan murni berpikir menggali informasi di dalam kepalanya. Aku bisa memergoki sorot mata yang mengerling ke arah kanan.

"Uummh..., rumah pak Diki ada di desa Cikaobandung, dekat kantor kecamatan di daerah turunan. Cari saja rumah bercat hijau yang paling besar di sana."

"Thanks, Bu!" ucapku girang. Tanpa mempedulikan fisik yang sudah lelah, aku kembali memacu langkah menuju jalan utama. Sekolah ini terletak cukup jauh di kedalaman rumah warga.

Siska belum membalas. Aku tak memiliki petunjuk lain. Memang tak ada alamat lengkap yang kudapat, tapi info singkat ini dirasa lebih dari cukup.

Pun begitu, perjuanganku tak berhenti sampai di sana. Akses angkot menuju desa satu itu tergolong langka. Hanya ada dua atau tiga kendaraan yang melintas di tiap jamnya. Pantas saja dulu Siska sering diantar Lenka. Meski anak orang kaya, rupanya Pak Diki cukup waras untuk tidak memberikan kendaraan bermotor pada anaknya. Dia tahu, risiko celaka perempuan di balik kemudi jauh lebih besar daripada laki-laki.

Posisiku sekarang cukup dekat dengan terminal. Ketimbang menunggu terlalu lama di bawah rintik gerimis, aku lebih memilih untuk menunggu langsung di tempat angkot mengetem.

Langkahku mengayun menyusuri pinggiran jalan tanpa ketersediaan trotoar. Jalanan ini lumayan ramai, aku harus memilah waktu tepat untuk memijak aspal—berjalan agak ke tengah penuh dengan laju mobil—tanpa harus diserempet salah satu kendaraan. Berjalan di pinggiran memang pilihan aman, tapi genangan air berisi lumpur di sana bukanlah hal bagus bagi sepatu.

Kehadiran gerobak penjual makanan seakan menjadi penunjuk akan pintu masuk menuju terminal. Suara gorengan yang tenggelam dalam minyak mendidik serasa membangkitkan lapar di perut. Namun, itu tak mengganggu fokusku untuk mencari kendaraan umum bercat kuning.

"Ka Cikao, Neng?" ucap seorang calo penumpang. Bau keringat menebar pekat dari permukaan kulitnya yang kusam. Rambut ikal nan kusut terlihat senada dengan kaos compang-camping, serta celana jeans bolong di bagian lutut. Lewat pengamatan sepintas saja aku bisa mengidentifikasi bahwa dia seorang preman.

Wajahku mengangguk seraya mengukir ekspresi memelas. Perempuan mana pun—terlebih mereka yang berparas cantik—memiliki keuntungan besar di bagian ini. Mudah bagi mereka untuk bisa meluluhkan seorang lelaki dengan cara bertingkah lemah tak berdaya.

Di balik perawakan kekar penuh dengan tato, orang ini sebenarnya tidak berniat jahat padaku. Dia memang preman, tapi tidak dengan cara memeras warga sekitar. Mereka mendapat uang lewat komisi dari supir angkot setelah membantu mencarikan penumpang. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengantarku mendapatkan kendaraan yang kubutuhkan.

Cat mobil dengan warna mencolok terlihat kontras dengan trayek lainnya. Wajahku berubah berseri-seri tatkala menyadari penumpang di dalamnya sudah terlihat berdesakan. Aku tak harus menghabiskan waktu menunggu proses mengetem. Angkot itu memang berniat pergi sedetik setelah aku tiba di dalamnya.

Deru suara mesin bercampur aduk dengan hiruk-pikuk kebisingan terminal. Kendaraan yang kunaiki bergerak pelan mendesak kemacetan. Tak pernah bosan aku menggerutu, mengumpat dalam hati pada penjaja kaki lima yang mempersempit jalanan.

Butuh waktu cukup lama untuk bisa keluar dari sana. Semilir angin sejuk bertiup cukup kencang dari luar kala kendaraan ini melaju meningkatkan kecepatan. Tiupan angin terasa sejuk hingga sukses menyapu bulir keringat di kening. Sedari tadi udara di dalam memang terasa pengap. Embusan napas tiap penumpang menjadi penyebab utama.

Sekarang aku di perjalanan, tak lama lagi aku akan bertemu Siska. Seharusnya aku merasa senang, tapi kenapa jantung ini malah berdetak kencang?

Napasku tertahan,seolah ada kekuatan tak kasat mata menekan keras dari segala arah. Rasanya seperti sedang dililit ular sanca. Diafragmaku gagal mengembang untuk menarik udara. Sesak sekali, telingaku bahkan berdenging hingga segala sesuatu terasa membisu. Bising di telinga mengubur jauh suara deru mesin bercampur ragam obrolan.

Ada apa ini?

Sebuah entakkan menjawab segalanya. Tubuhku terdorong oleh akselerasi yang tiba-tiba. Angkot ini terdorong maju diempas kendaraan di belakangnya. Truk berukuran sedang mencium bokong angkot yang kunaiki. Kendaraan itu entah kenapa gagal melakukan pengereman di jalan menurun.

Derit suara ban menandakan hilangnya kontrol sang pengemudi. Sebenarnya tidak masalah andai angkot yang kunaiki tergelincir ke samping, lalu berhenti setelah menginjak lapisan tanah lempung. Karakteristik empuknya akan menyerap segala energi, hingga mengerem laju yang tak terkendali.

Akan tetapi, tidak semuanya terjadi seperti yang kuhendaki.

Alih-alih lapisan tanah lunak, pinggiran jalan ini ternyata berisi tebing curam.

Nyaliku menciut seketika itu juga. Kepanikan menguasai pikiran hingga membuatku bergidik ketakutan. Pikiranku kalut berisi sejuta prasangka. Inikah akhir dari hidup seorang remaja bernama Dian?

Aku akan mati? Sekarang? Tanpa sempat berbuat apa-apa?

Pandanganku memburam, air mata mengucur diperas oleh ngeri yang menjalar. Napasku masih saja tertahan, mau menjerit pun aku masih saja menemui kegagalan. Jantungku terasa sakit karena berdegup terlalu keras.

Kaki dan bokongku gagal berpijak pada bangku dan lantai. Kurasakan tubuhku terlontar jauh seraya angkot ini berguling cepat seperti roda menggelinding. Gaya sentrifugal menciptakan tarikan hebat yang tak sanggup kutahan.

Angkot ini bertindak selayaknya pemain baseball tengah mengayunkan siku lengan ketika melemparkan bola. Berulang kali aku mengutuk nasib sial karena posisiku ada di mulut pintu yang terletak di tepian.

Sempat kurasakan hilangnya gaya gravitasi seakan tubuh ini melayang bebas seperti seekor burung. Pandanganku menatap lekat angkot yang masih menggulung menyusuri tebing curam.

Entah seberapa jauh aku terlempar ke angkasa. Butuh sepersekian detik hingga akhirnya aku tersadar pada sebuah hukum alam; apa pun yang melecut tinggi, harus kembali ke bumi.

Tak peduli sekuat apa aku menjerit. Pada akhirnya aku masih terjun bebas seperti batu yang dilempar dari ketinggian.

Aku (Bukan) Perempuan..!Where stories live. Discover now