Prolog

1.5K 118 16
                                    

Pintu balkon mengayun terbuka, membuat suara keras. Dingin angin malam berbau Selat Bosporus menyeruak masuk. Miel Gillian mengangkat wajah dari layar tabletnya, matanya lelah dan mengantuk. Ditatapnya gorden putih tipis yang melambai tertiup angin. Dengan enggan dia meletakkan pekerjaan menumpuk dalam tablet tipisnya dan beranjak dari sofa.

"Dia harus dibunuh," suara seorang wanita yang terdengar jelas dalam keheningan malam dan desis angin tengah malam. "Kamu lebih tahu hanya kematian yang pantas untuknya."

Miel mendadak berhenti, mematung ditempatnya tanpa sadar dia menggenggam lebih erat daun pintu yang hendak ditutupnya, membiarkan gorden-gorden itu bergerak tertiup angin. Sungguh, Miel bukan seseorang yang gemar menguping pembicaraan orang lain. Namun kata-kata dan kalimat semacam itu bukan pembicaraan umum yang bisa dijumpai dalam percakapan sehari-hari. Kesannya mencurigakan karena ini pukul satu dini hari.

Ah, kalimat itu membuatnya berdebar, penasaran, jadi dia berdiam disana dan menunggu. Miel tahu dia akan mendengar sesuatu lagi.

"Bunuh saja. Orang menjijikkan itu tidak pantas hidup." Suara wanita itu terdengar lagi, gusar dan gemetar. Seperti seseorang yang sedang menjilat atasan.

Miel bertanya-tanya orang macam apa yang membicarakan pembunuhan di ruang terbuka. Dia berdiri dengan telinga mendekat kearah celah pintu, menunggu disana. Menahan diri untuk tidak mengintip.

"Seperti itu lebih baik." Suara yang lain terdengar. Suara seorang laki-laki, dalam dan dingin—lebih dingin dari udara malam itu.

"Aku bisa melakukannya untukmu. Kamu tahu, aku bisa melakukan apapun yang kamu perintahkan. Aku bisa melakukannya dengan baik. Anggap saja seperti membunuh anjing gila agar tidak menyebarkan rabies." Lagi-lagi wanita itu terdengar seperti sedang menjilat tuannya. Napsu yang liar dan jahat terselip dalam suaranya.

"Aku bilang tidak." Suara pria itu membentak. Begitu dingin, begitu kasar. Untuk beberapa saat kemudian tidak terdengar suara apapun selain semilir angin malam dan suara kapal-kapal besar yang melintasi Bosporus. Miel mengira dia tidak akan mendengar apapun lagi saat pria itu bicara. "Aku membaca sebuah berita di The Times musim dingin lalu," kali ini suaranya lebih tenang.

"Seorang supir truk kecelakaan karena jalanan bersalju. Kecelakaan besar yang membuatnya kehilangan kaki kiri, sementara kaki kanannya tidak mampu digunakan bergerak lama. Lengan kanannya melemah dan dia kehilangan pendengaran dan sebelah kiri penglihatannya. Supir truk itu tidak lagi dapat bekerja, kesulitan mengurus diri sendiri. Tapi dia hidup," laki-laki itu terdengar simpatik tapi mengejek disaat yang sama. Begitu aneh. "Bukankah itu lebih buruk daripada mati tewas ditempat?"

Psikopat gila.
Apapun maksud pria itu, Miel merasa buruk hanya dengan mendengarnya bicara. Rasa penasaran membuatnya gatal. Dia melirik jendela kacanya yang lebar, tidak menemukan cahaya apapun yang memantul dari balkon sebelah. Setelah mengumpulkan sedikit keberanian, Miel mengintip.

Balkon sebelah kanan gelap gulita, begitupun dengan ruang kamarnya. Berdiri disana ada dua orang yang membelakanginya. Satu laki-laki, bertubuh tinggi. Satu lagi adalah perempuan yang berdiri tidak tenang. "Kematian terdengar seperti pengampunan, seperti maaf, seperti pembebasan."

Miel berdebar. Seumur hidupnya, skenario semacam itu hanya ada di serial Netflix atau film-film. Miel menyudahinya. Tanpa suara dia menutup pintu, mematikan lampu dan segera naik ke ranjang. Sayup-sayup dia mendengar suara wanita tadi. "Eh? Rasanya tadi pintu balkon kamar sebelah terbuka."

"Oh, ya? Bagus kalau begitu."

•••
Bersambung.
Hi there, Pretty. Cerita ini thriller (lagi). Aku mengingatkan untuk membaca deskripsi cerita lebih dulu. Cerita akan berjalan sesuai judul dan deskripsi cerita, jadi kamu bisa dapat bayangan akan jadi seperti apa cerita ini.

Semoga kamu suka.
Love,
Lui.

Wicked Game [MILEAPO]Where stories live. Discover now