0. Prologue

879 59 0
                                    

Pangeran Louis — atau yang biasa dipanggil dengan nama tengahnya, Gavin, oleh keluarganya — sedang berjalan menuju kamarnya. Ia memijit pelipisnya akibat rasa berat di kepala setelah mendengar penuturan teman-temannya yang tidak berhenti mengeluh.

Dia baru saja pulang dari kelas etika di hari sabtu yang seharusnya bisa ia gunakan untuk istirahat. Dan di hari itu pula teman-temannya putuskan merupakan hari yang tepat untuk mengeluhkan kehidupannya sebagai seorang bangsawan.

Memang benar, disetir kesana kemari tanpa diberikan kesempatan untuk memilih adalah kehidupan yang Gavin dan teman-teman bangsawannya ketahui sejak mereka dilahirkan ke dunia. Tetapi yang Gavin tidak pernah pahami adalah, untuk apa mengeluh?

Jika sudah takdirnya seperti itu, tidak ada gunanya lagi mengeluh, bukan? Jika dengan mengeluh keadaan bisa berputar seratus delapan puluh derajat, maka Gavin akan ikut mengeluh bersama teman-temannya tanpa henti. Namun kenyataannya tidak seperti itu.

Pilihannya hanyalah maju, terus mengikuti alur dan jalan kehidupan yang telah ditetapkan sejak ia masih berada dalam masa kandungan.

Ketika sampai, Gavin langsung membuka pintu kamarnya, hendak secepatnya merebahkan diri di dipan lebar dan empuk miliknya. Tetapi langkahnya terhenti ketika ia menyadari bahwa ibunya duduk di tengah ruangan, menunggunya pulang.

"Ibu, tidak sekarang." Gavin memelas. Dia sudah terlalu pusing menjalani harinya di sekolah tadi. Tidak akan sanggup jika ditambah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan aneh dari sang ibu.

"Oh, ayolah nak. Kemari, duduk di sebelah ibu." Sang Ratu tersenyum lebar sambil menepuk busa empuk di sebelahnya, mengisyaratkan kepada anaknya untuk ikut duduk bersamanya.

"Ibu, kepalaku sedang berdenyut." Walaupun Gavin mengatakan itu sebagai bentuk protes, ia tetap berjalan menuju ibunya. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang anak penurut yang sangat menyayangi ibunya, sebagaimana Natalie, sang ibu, menyayangi pangeran kecilnya.

"Rebahkan tubuhmu. Ibu akan membantu meringankan sakit kepalanya." Natalie membawa bantal kecil ke atas pahanya, memberikan ruang untuk tubuh tinggi Gavin memuat satu sofa panjang. Tapi tetap saja kakinya sedikit menjuntai ke bawah karena ia jauh lebih tinggi dari panjang sofa itu.

Natalie mulai memijat pangkal hidung Gavin secara perlahan, penuh dengan kasih sayang. "Bagaimana di sekolah tadi?"

"Ibu, aku sudah berumur duapuluh satu tahun, kenapa aku masih pergi ke sekolah?" Tanyanya retoris.

"Kamu tahu jawabannya." Ibunya tertawa kecil, tahu pasti bahwa anaknya hanya berbasa-basi.

"Ke atas sedikit ibu." Sempat-sempatnya Gavin meminta ibunya memijat area di bagian dahinya. "Ibu kenapa ke sini?"

Tangan itu terhenti sebentar di kepala Gavin. Tidak menyangka bahwa anaknya akan secepat itu bertanya maksud dan tujuannya datang berkunjung. "Kamu sedang sibuk ya, nak?"

Gavin bingung. Bukannya ibunya mengetahui seluruh jadwalnya? "Iya ibu. Kan ibu tahu apa saja kegiatanku."

"Maksud ibu. Apakah kamu tidak punya waktu luang untuk mencari jodoh?"

Gavin terlonjak duduk, menatap ibunya tidak percaya. "Untuk apa ibu? Aku masih muda!"

"Kamu sudah dewasa, sudah sepatutnya menikah, nak." Natalie mengelus rambut anaknya. "Tidak kah kamu menemukan salah satu temanmu menarik?"

Gavin menggeleng cepat. Orang-orang yang selalu mengeluh itu? Tidak akan. "Gavin tidak pernah berpikir ke sana, ibu. Apakah Gavin benar-benar harus mencari?"

"Jika kamu tidak mencari dalam waktu dekat, ayahmu akan merancang perjodohan untukmu, apa kau mau?"

Gavin bergidik ngeri. "Apapun selain itu." Dia mendekatkan tubuhnya kepada Natalie, memeluk lengan ibunya dan menyandarkan dahinya ke bahu sang ibu. "Tolong Gavin, ibu." memohon. Selalu kembali menjadi seorang anak kecil ketika berbincang bersama ibunya secara privat.

"Karena itu ibu bertanya kepadamu, apakah kamu memiliki kandidat atau seseorang yang kamu inginkan?"

Gavin terdiam, berpikir keras. Lalu ia teringat kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika keluarga kerajaan pergi ke tempat berdoa di tengah kota. "Ada... ibu."

Wajah Natalie berubah ceria. "Benarkah?" Suaranya berubah sangat antusias. "Siapa dia? Dari kerajaan mana?"

"Dia..." Gavin ragu mengutarakannya. "Dia sepertinya bukan bangsawan. Dan aku tidak tahu siapa namanya."

Sang ibu terdiam.

"Tapi." Napas Gavin tercekat karena rasa gugupnya. "Tapi, Gavin hanya ingin dia, ibu."

—tbc

The Crown PrinceWhere stories live. Discover now