20. Letting Go

396 42 2
                                    


Pada akhirnya Gavin menyerah dan mengikuti rasa penasarannya. Langkah demi langkah membawanya kembali pada perpustakaan utama istana, ke bagian buku sejarah. Matanya mencari buku yang terakhir kali ia baca di sana. Buku yang memicu sekian banyak tanya dari dirinya.

Namun nihil. Dia tak menemukannya.

Gavin mulai panik.

Kenapa tidak ada?

Dia mencari dan terus mencari. Menaiki anak tangga untuk mencapai rak paling atas. Tetap tidak ditemukan.

"Tidak." Gumamnya. "Tidak, tidak. Tidak bisa." Lalu tanpa berpikir panjang dia berlari ke ruangan yang telah ia dedikasikan untuk Nolan. Berlari tanpa menurunkan kecepatan sedikitpun. Gavin berlari sekuat tenaga, secepat yang ia bisa. Dia takut dugaannya benar dan segalanya telah terlambat.

Lalu ketika ia sampai, ia melihat pintunya tidak tertutup sempurna. Ia memasuki ruangan dengan tergesa dan mengedarkan pandangannya. Di dalam hati berharap atas keberadaan Nolan disana, mengingat pintunya memang masih terbuka sedikit.

Namun yang ia temukan malah ruangan kosong, dengan satu buku dibiarkan terbuka di atas lantai, terbengkalai.

Gavin bergegas melihat sampul buku tersebut. "Sial!" Benar dugaannya. Dan sepertinya Nolan telah membaca buku tersebut.

Ia langsung berlari, lagi. Hendak mencari keberadaan Nolan. Otaknya tak berhenti menyalahkan keadaan dan berpikir bagaimana bisa buku itu sampai pada tangan Nolan.

Lalu dia baru teringat, bahwa buku yang telah ia pilih belum cukup untuk mengisi seluruh bagian perpustakaan. Maka beberapa pelayan diperintahkan untuk menambahkan beberapa buku dari perpustakaan utama.

Lagi-lagi Gavin mengutuk di dalam hati. Dari sekian banyak buku, kenapa buku itu termasuk menjadi salah satu yang ikut dipilih untuk dipindahkan?

Gavin masih terus berlari walaupun peluh telah mengguyur tubuhnya. Namun di salah satu lorong, ia mendengar suara isak tangis. Suara yang ia hafal betul. Isakan yang selalu berhasil ikut menyayat hatinya.

Lalu ia mendengar suara ibunya, sedang menenangkan kekasihnya.

Maka ia bersembunyi di balik tembok. Tidak ingin keberadaannya ditemukan. Ingin mendengarkan percakapan mereka.

"Apakah ibu mengenal Lani sebelum ini?" Gavin mendengar suara itu sarat akan kepedihan. Selanjutnya hening. Ibunya tidak langsung menjawab pertanyaan dari Nolan.

Lalu akhirnya terdengar helaan napas dari Natalie. "Lani, maafkan ibu telah menyembunyikan ini darimu. Ibu kira belum saatnya untuk kami memberitahu Lani mengenai asal usulmu."

"Jadi benar..." Gumam Nolan.

"Ibu Lani, sahabat ibu, menitipkanmu ketika Lani masih bayi karena kondisi kerajaan sedang tidak kondusif. Lani sudah tahu ceritanya?"

Tidak ada suara, namun Gavin tahu pasti Nolan telah mengangguk, maka Natalie melanjutkan, "Namun setelah tragedi itu, kerajaan tidak kunjung tentram. Masih begitu banyak ancaman. Terutama untuk mu." Gavin mengintip, melihat bagaimana Ibunya mengelus kepala Nolan untuk menenangkannya yang masih menyisakan sedikit isakan.

"Terlalu banyak ancaman untukmu, Lani tidak aman. Musuh masih berkeliaran. Maka saat itu Tobias menyarankan untuk menyamarkan identitasmu, dan menitipkanmu bersama seorang keluarga yang dapat kami percaya di wilayah barat."

Rasanya dada Gavin bergemuruh, darahnya mendidih. Dia merasa semua potongan puzzle telah tersusun rapi. Ini semua adalah rencana dari ibu dan ayahnya untuk mengembalikan Nolan kepada tahta yang memang seharusnya menjadi miliknya.

Gavin semakin marah lagi ketika ia kembali mengingat bahwa Nolan tidak menyukai segala kehidupan di istana. Dia juga tidak suka kesibukan yang diberikan kepadanya sejak sampai di istana. Bagaimana lagi dengan memimpin sebuah kerajaan? Nolan pasti akan tersiksa. Dia bisa, walaupun hatinya menolak. Namun apa gunanya kinerja yang baik jika Nolan tidak bahagia, kan?

Hati Gavin rasanya terbelah menjadi dua. Satu-satunya jalan saat ini adalah dengan menuruti rencananya yang telah ia susun.

Tanpa terikatnya Nolan dengan Gavin, Nolan pasti bisa lepas dari seluruh tanggung jawab itu, kan?

Lalu seluruh pemikiran Gavin buyar ketika ia menyadari bahwa Nolan dan Ibunya telah selesai berbicara. Ibunya pergi ke arah lain, sedangkan Nolan sedang berjalan ke arahnya.

Gavin berpura-pura baru saja sampai dan sedang berjalan menuju ke ruang makan, lalu pada akhirnya mereka bersitatap.

"Selamat pagi, Gavin." Nolan menunduk. Yang mana gestur itu juga menyakiti hatinya. Nolan tidak seharusnya bersikap formal padanya. Ingin sekali rasanya ia merentangkan tangannya seperti biasa, menyambut Nolan kedalam sebuah pelukan hangat, mengayunkan tubuh mereka, merasakan ketenangan itu lagi. Namun itu hanyalah angan-angan semata. Gavin tidak akan merasakan itu lagi.

Setidaknya Nolan masih memanggilnya dengan nama panggilan Gavin.

Ketika tubuh mereka telah mendekat, Nolan menyadari sesuatu. "Gavin kau..." Tangannya perlahan naik untuk menyentuh dahi Gavin yang basah. "Berkeri-"

Gavin memegang pergelangan tangan itu sebelum berhasil menyentuh dahi. Hampir seperti ditepis, memberikan isyarat yang sangat jelas kepada Nolan agar tidak menyentuhnya.

Raut wajah Nolan berubah. Tangan kirinya meremat tangan satunya lagi. Kepalanya tertunduk.

Lagi-lagi Nolan merasa sedih karenanya. Gavin sudah tidak kuat lagi. Nolan memang benar-benar harus pergi. "Aku tidak lagi membutuhkanmu." Ucapnya sedingin es yang begitu tajam. "Keluar dari istana ini besok. Hiduplah sebagaimana yang kau inginkan." Lalu Sang Pangeran pergi meninggalkan Nolan sendirian di lorong yang sunyi itu.

Hati Gavin seakan diremat. Dadanya terasa sesak. Dia berbelok arah, untuk kembali ke kamarnya. Tidak ada sarapan untuk hari ini. Nafsu makannya menghilang.

Gavin mengurung diri di kamarnya, tidak membiarkan pelayan ataupun pengawal masuk.

Ia telah menyakiti Nolan. Ia telah membuatnya sedih. Hati yang seharusnya ia jaga dengan sepenuh hati malah ia hancurkan begitu saja.

Gavin adalah manusia terjahat di dunia ini. Ia menahan tangannya sekuat tenaga agar tidak memukul kepalanya sendiri. Kepala yang sudah dengan bodohnya menyusun rencana gila yang berujung menyakiti hati cintanya.

Gavin hancur. Ia telah kehilangan Nolan. Nolannya akan pergi besok. Nolannya akan kembali ke rumahnya besok pagi.

Tidak apa-apa.

Selama Nolan bisa bahagia di sana, Gavin rela.

Nolan akan kembali merasakan kebahagiaan di sana. Nolan akan mendapatkan senyumnya kembali. Walaupun Gavin tidak, namun ia tetap akan merelakan Nolan.

Demi kebahagiannya.

— tbc

The Crown PrinceWhere stories live. Discover now