22. Home

346 34 0
                                    


Talia sedang terduduk di kamarnya, melihat keluar jendela sembari memikirkan adiknya dan jalan cerita yang akan dia tulis. Benar, ucapan Nolan saat itu mengetuk hati Talia. Sekarang gadis itu tengah menulis sebuah buku. Cerita fiksi. Sebuah kisah yang familiar.

Sebenarnya pandangan Talia kabur. Dia sedang melihat ke dalam benaknya sendiri. Membayangkan banyak skenario dan memilah yang mana yang paling baik untuk dimasukkan ke dalam bukunya. Namun sebuah gerakan tidak familiar mengalihkan perhatiannya, tak lama kemudian terdengar suara kuda.

Talia mendekatkan wajahnya ke kaca jendela untuk melihat lebih jelas. Benar. Itu adalah kereta kuda kerajaan.

Wajahnya berubah sumringah. Tanpa berpikir ia melompat turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar dengan kasar. "Ibu! Ayah! Lani datang!" Sepenjuru rumah —atau bahkan hingga sampai ke tetangga— dapat mendengar suara melengkingnya.

"Talia, pelan-pelan! Ibu kira rumah ini hampir roboh." Sang ibu menggerutu akibat ulah anak sulungnya yang heboh sekali.

"Lani? Lani kembali?!" Tidak kalah heboh, sang ayah turut bergegas dari duduknya menuju ke pintu, mengikuti Talia yang tanpa alas kaki berlari keluar.

Sang ibu hanya bisa menghela napas maklum. "Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Tunggu sebentar." Ibunya mematung dari kegiatan mencuci piringnya. "Lani?" Ibunya terpaku, baru menyadari mengapa suami dan anaknya bereaksi sebesar itu. "Lani!?" Pekiknya sembari melempar apron yang baru saja ia buka. "Anakku!" Pada akhirnya ikut berlari keluar, untuk melihat Nolan yang sedang menuruni kereta kuda.

"Lani!" Talia dengan girang memanggil nama adiknya tanpa henti dan berlari memeluknya erat.

Lalu bagaimana kondisi Nolan? Suasana hatinya bahkan sangat sulit untuk dia cerna sendiri. Dia bahagia, dapat melihat tiga orang kesayangannya ini. Dia sedih, karena baru saja dibuang oleh pria yang ia cintai. Belum lagi ketika ia teringat, bahwa tiga orang didepannya itu bukanlah darah dagingnya sendiri.

Maka ia peluk kembali Talia dengan erat. Merunduk jauh lebih dalam dari terakhir kali ketika mereka bertemu karena benar, Nolan memang semakin bertambah tinggi. Wajahnya masuk ke ceruk leher kakaknya, merasakan pelukan hangat itu lagi.

Lalu yang ia kira dapat ditahan, akhirnya meluruh.

Dia menangis.

Menangis dengan kencang, tanpa dapat ia bendung sama sekali.

Talia yang tadinya riang gembira seketika terdiam. "Lani?" Panggilnya bingung, karena seingatnya, surat yang terakhir kali Nolan tuliskan kepadanya diisi dengan penuh kebahagiaan. Talia tidak mengerti.

Dibelakang mereka, tampak seorang ibu yang menyaksikan segalanya. "Anakku, kenapa?" Bisiknya sembari ikut meneteskan air mata.

Sudah tiga hari sejak kepulangan Nolan. Yang Talia kira hanya akan bertemu dengan adiknya sebentar, ternyata salah. Adiknya telah kembali. Benar-benar kembali ke rumah.

Pada hari itu Nolan menceritakan segalanya. Menahan tangisnya selama bercerita, walau tetap meloloskan beberapa tetes air mata yang tidak dapat ia tahan.

Nolan menyatakan rasa terima kasihnya, karena telah menampung dirinya yang bukan siapa-siapa di keluarga itu. Dan ucapan itu membuat ibunya menangis tersedu-sedu.

Nolan merasa bersalah. Ia mengatakannya atas dasar ketidak percayaan diri. Merasa bahwa ia tidak punya tempat untuk pulang. Merasa bahwa keluarga ini tidak menganggapnya sebagai keluarga asli.

Namun pemikirannya salah. Ibunya tidak menganggapnya berbeda dari Talia. Tidak pernah sedikitpun ibu dan ayahnya menganggap Nolan adalah orang lain dalam kehidupan mereka. Tanpa Nolan sadari, ucapannya telah menyakiti hati kedua orang tuanya.

The Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang