5. Departure

461 46 0
                                    

Nolan mengedarkan pandangan ke tiap sudut ruangan yang telah menjadi tempat ia beristirahat sedari kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nolan mengedarkan pandangan ke tiap sudut ruangan yang telah menjadi tempat ia beristirahat sedari kecil. Tempat tidur untuk satu orang, lemari kecil yang cukup untuk memuat bajunya yang tidak begitu banyak, lampu hias yang Talia berikan untuknya, terlalu banyak kenangan hanya dalam satu ruangan. Membuat Nolan sulit untuk mengucapkan selamat tinggal.

Nolan bahkan tidak yakin apakah ia bisa kembali melihat ruangan ini di kemudian hari.

Atau apakah harum kamarnya akan sama seperti di kala ia meninggalkannya ketika ia kembali nanti. Jika ia kembali.

Seluruh kardus berisi sedikit bajunya dan beberapa barang penting miliknya sudah disusun di dalam kereta kuda kerajaan. Pangeran masih duduk di bawah, berbincang dengan ayah Nolan, menunggunya.

Tiba-tiba degup jantung Nolan terasa berdebar. Rasa takut menghampirinya secara bertubi-tubi. Apakah ia bisa bertahan hidup di dunia baru nanti?

Nolan sangat amat takut.

Sebelum ia membuka pintu kamarnya, Talia sudah lebih dulu melakukan itu. Masuk tanpa aba-aba dan menubruk tubuh adiknya dengan pelukan.

"Lani, kau akan baik-baik saja kan disana?" Nolan tidak menyangka akan melihat kakaknya menangis sedemikian rupa. Ia kira Talia akan senang bisa menggunakan kamar yang ia tinggalkan untuk banyak hal.

"Aku akan baik-baik saja." Nolan mengelus punggung sang kakak yang jauh lebih pendek darinya. "Kenapa kakak menangis? Bukannya kau yang sangat bersemangat untuk menyuruhku pergi bersama pangeran?"

Talia melepas pelukan itu, lalu menatap wajah adiknya, yang tanpa diduga juga terlihat sedih, dengan mata yang berkaca-kaca namun tidak mengeluarkan sedikitpun air mata. "Aku hanya ingin kau bahagia." Disentuhnya puncak kepala adiknya. "Ternyata kau sudah sebesar ini ya?"

"Kakak yang kecil."

Talia menepuk bahu Nolan. "Berjanjilah untuk bahagia. Kirimkan aku surat setiap hari. Aku mau tahu apa saja kegiatanmu dari kau membuka mata hingga kau tertidur lagi. Jika ada satu saja kalimat tersirat yang menunjukkan kau bersedih disana, maka aku tidak akan segan-segan menyeretmu kembali pulang ke rumah."

Rumah.

Nolan sudah tidak tahu lagi dimana rumahnya. Apakah rumah ini masih bisa ia sebut sebagai rumah? Atau apakah istana yang akan menjadi rumah barunya?

"Jangan berlagak seperti kau baru diusir dari sini. Rumah ini akan selalu menjadi tempatmu pulang. Kita semua akan menyambutmu di kala kau akan menginjakkan kakimu lagi disini." Seakan mengetahui apa yang Nolan pikirkan, Talia langsung membuat hatinya tenang.

"Terima kasih ya, kakak." Ada begitu banyak kalimat yang rasanya ingin Nolan sampaikan kepada kakaknya. Tapi tidak ada yang keluar selain kata itu. Mungkin sisanya akan ia tuliskan di surat, seperti yang sudah kakaknya sampaikan.

"Jangan berani-beraninya kau lupakan aku. Ingat, surat!"

"Iyaa iya. Akan kutuliskan kepadamu minimal seminggu sekali, bagaimana?"

The Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang