FA | | 42. Apakah Ini Perang?

11 1 0
                                    

Seorang wanita berpakaian serba hitam masuk ke dalam mobil dengan keadaan muka merah dan mata bengkak. “Udah dong. Masa nangis terus.” Farhan menggenggam tangan istrinya di kursi penumpang.

“Ya…, gimana, ya? Aku juga ikutan sedih liat Ajeng. Dia baru aja baikan sama ibunya padahal,” ujar Ayu dengan suaranya yang bindeng.

“Iya. Tapi, gak baik nangisin terus. Jadi, pilek to,” nasihatnya seraya mencubit hidung istrinya. Alhasil Ayu melempar tatapan tajam pada suaminya di bangku kemudi.

“Terus mereka gimana?”

“Ajeng keliatan banget sih kalau kepukul, tapi semoga aja cepet damai sama keadaan. Kalau Angga udah gak terlalu keliatan, tapi kayaknya masih sedih. Dia juga keliatan pusing.”

“Pusing? Kenapa?” Farhan tampak penasaran.

“Kayaknya ngurusin perusahaan. Tadi lihat kan ada bule dateng?” Farhan mengangguk.

“Nah, itu sekretaris perusahaannya. Tadi aku sama Rita juga denger ada kayak ribut-ribut waktu nemenin Ajeng. Tapi pake bahasa inggris.” Farhan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon.

“Yah…, doain aja semoga semuanya cepet baik-baik aja.” Kini bertukar Ayu yang menganggukkan kepalanya.

Setelahnya, Farhan menginjak gas hendak menjemput keponakan tercintanya. Sesampainya disana, mereka menunggu sejenak hingga Ayu pun turun dari mobil. Dia berdiri di dekat pintu gerbang sekolah guna memudahkan sang keponakan dalam mencari dirinya.

Namun, sampai tak tersisa satu anak pun, Maya tak terlihat sama sekali. Merasa ada hal yang janggal, Ayu mulai bertanya-tanya dalam hatinya. Kemanakah anak ini? Kenapa tak terlihat sama sekali? Padahal sudah jam pulang.

Ayu yang merasa lehernya sudah hampir patah karena celingukan sedari tadi, memilih kembali ke dalam mobil. “Maya mana?” Farhan langsung melontarkan pertanyaan pada istrinya.

“Itu yang mau aku tanyain. Aku juga gak tau itu anak kemana? Gak nongol-nongol dari tadi,” jelas Ayu.

“Coba telpon ibu, siapa tau udah dijemput.” Ayu mengiakan dan segera menghubungi ibunya. Namun, hal itu tak membuahkan hasil karena teleponnya tak diangkat sama sekali oleh sang ibu.

“Gak diangkat, Mas.”

“Lha itu udah bener-bener sepi? Gak ada bocah lagi?”

“Gak.”

“Blas?”

“Blas.”

“Yakin?”

“Yakin, Mas. Mripat kula mboten minus.”

(Yakin, Mas. Mataku gak minus)

“Minus, wong kowe nganggo kacamata. Jal, Iki piro?” Farhan menunjukkan dua jarinya yang agak dijauhkan dari Ayu.

(Minus, orang kamu pake kacamata. Coba, ini berapa?)

“Kalih. Hih…, Mas…, kula minus sanes wuto,” ujarnya sambil memukul tangan Farhan.  

(Dua. Hih…, Mas…, aku minus bukan buta.)

“Sek-sek. Ket mau ki kowe nesu ro aku nganggo krama to?”

(Bentar-bentar. Dari tadi tu kamu marah sama aku pake Krama to?)

“Nggih,” jawab Ayu apa adanya.

“Pantes le ngrungoke rada ra penak.”

(Pantes dengerinnya agak gak enak)

“Lha njuk piye? Pengen aku misuh?” Akhirnya Ayu menurunkan tingkatan bahasanya.

Faralga AyriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang