FA | | 49. Bersamamu adalah Sebuah Anugerah

4 1 0
                                    

Akhir pekan tiba dan kini sudah memasuki minggu keempat. “Udah dikunci pintunya?” Wanita itu mengangguk kemudian membuka pintu gerbang.

Setelah mobil keluar dan pintu gerbang terkunci, wanita itu segera duduk di kursi penumpang depan. Tak berselang lama, mobil silver itu mulai melaju di jalanan menciptakan sebuah rute menuju suatu tempat.

“Bahagia banget, Mas?” Pasalnya pria yang mengemudikan mobil itu terus saja tersenyum sejak awal mobil melaju sampai sekarang.

Tapi anehnya, ia tak menjawabnya dan justru terkekeh. “Jangan bikin bingung, Mas.”

Pria itu pun akhirnya menoleh dan memasang mata sipitnya karena tersenyum. “Semoga tetap sehat wal afiat,” batin wanita itu dengan tatapan lurus ke depan.

Tak sampai tiga puluh menit, mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di sebuah halaman rumah yang cukup luas. Mereka turun dari mobil bersama dan menuju rumah tersebut yang rupanya sudah ada beberapa orang disana. Langsung saja mereka masuk ke ruang keluarga dimana orang-orang itu berkumpul.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam,” jawab mereka serentak. Pasangan ini pun segera menyalami mereka satu persatu.

“Tumben gasik, Li.”

(Tumben awal, Li)

“Lha nggih lagi sregep, Pakdhe,” mendengarnya membuat semua orang disana tertawa.

(Lha iya lagi rajin, Pakdhe)

“Le,” panggil seseorang dengan suaranya yang mulai samar.

“Ampun ‘Le’, Mbah. 'Angger' mawon,” ujarnya dengan senyum sumringah dan menghampiri sang nenek. Tak ayal sang nenek pun tertawa melihat tingkah sang cucu.

(Jangan 'Le', Mbah. 'Angger' saja.)

“Tanggal enom, yo, Ngger. Kok bungah temen.” Semua orang di sana tertawa mendengarnya. Setelah sang nenek duduk di antara mereka, satu persatu mulai mencium tangannya.

(Tanggal muda ya, Ngger. Kok bahagia banget.)

“Mbok cerito, ngopo?”

“Ngenten, Mbah. Kula gadhah pawarta, In Syaa Allah saged ndamel bungah Simbah, Pakdhe, lan Budhe.” Mendengarnya ternyata membuat mereka memasang wajah serius dan penasaran.

(Gini, Mbah. Aku punya berita, In Syaa Allah bisa bikin bahagia Simbah, Pakdhe, dan Budhe.)

Pria bernama Ali itu menarik kedua  sudut bibirnya, “Trah Al-Habsyi badhe nambah.” Tak perlu pikir panjang lagi, mereka langsung paham kalimat tersebut.

(Keluarga Al-Habsyi bakal bertambah)

“Meh ngenehi cicit kowe cah loro? Ngono, Ndhuk?”

(Mau ngasih cicit kalian berdua? Gitu Ndhuk?)

Rita mengangguk dengan senyum lebarnya, “Nggih, Mbah. Sampun sekawan minggu.”

(Iya, Mbah. Sudah empat minggu)

“ALHAMDULILLAH,” seru mereka semua yang berada dalam ruangan tersebut.

“Bapakmu, Bapakmu ndi? Wajib ngerti?”

“Dereng. Sabar, Pakdhe, sekedhap malih rawuh.” Ali justru bingung sekaligus merasa lucu melihat tingkah heboh pakdhenya.

(Belum. Sabar, Pakdhe, sebentar lagi datang.)

😊😊😊😊😊

Hari ini, tepat empat minggu dirinya berada di ranjang rumah sakit tanpa keluar ruangan sama sekali walau sekadar mencari udara segar. Bahkan untuk duduk saja dirinya masih merasa kesulitan dan masih belum bisa untuk duduk tegak tanpa penyangga.

Faralga AyriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang