18. After The Storm

512 86 4
                                    

Wanita bersurai panjang itu mengigiti kuku jarinya dengan gelisah, tubuhnya bergerak kesana kesini tidak menentu. Pikirannya kosong, yang ada diotaknya hanya keselamatan prianya. Ia bahkan tidak mempedulikan jika dirinya juga membutuhkan pertolongan medis, mengingat bagaimana darah mengalir hingga ke kakinya. Namun wanita keras kepala itu bahkan tidak sedikitpun mau selangkah saja pergi dari tempat tersebut.

"Hinata, dia akan baik-baik saja!!" Pria bersurai coklat itu menatap sang adik dengan gemas, iris perak miliknya bergetar melihat bagaimana keadaan adiknya itu. Darah sudah mengering di kulitnya namun itu justru membuat Neji semakin khawatir.

Hinata tidak mendengarkan rengekan bahkan bentakan yang keluar dari bibir pria itu, otaknya kacau, hatinya hancur ia tidak membutukan apapun kecuali prianya.

"Sialan, seret dia sekarang!"

Neji sudah cukup bersabar dengan keadaan ini, namun ia sudah tidak peduli lagi jika adik tercintanya itu akan mengamuk. Ia tidak tahan lagi melihat kondisi adiknya tersebut, bahkan ia memikirkan calon ponakannya itu.

"Lepaskan aku!! Kubilang lepas berengsek!!"

Hinata meronta ketika kedua tangannya dicekal lalu diseret pergi dari tempat tersebut. Ia tidak akan mau pergi sebelum prianya bangun. Ia tidak mau meninggalkan prianya apapun yang terjadi.

"Jika kau tidak peduli keadaan mu, baik aku mengerti! Tapi pikirkan anak didalam kandunganmu!!" Neji membentaknya lantang bahkan suaranya menggelegar disepanjang koridor. Neji tidak peduli jika citranya hancur akibat teriakan mautnya itu, yang ia pikirkan saat ini adalah kondisi adiknya dan calon ponakannya.

Hinata menghentikan aksinya, iris seindah rembulan itu meredup. Ia tidak ingat jika ada nyawa lain yang berada di perutnya. Ia tidak ingat jika ada darah pria itu di dalam perutnya.

"Sekarang bisa kita ke tempat Tsunade tanpa harus ada adegan seret menyeret, Hinata?" Ujar Neji menyindir aksi kekanakan sang adik, napasnya bahkan memburu akibat luapan emosi tersebut.

Setelah mendengarkan perkataan sang kakak, akhirnya Hinata mau pergi dari tempat tersebut tanpa adanya perlawanan. Ia harus memastikan jika anaknya baik-baik saja.

...

"Bagaimana keadaan Hinata?" Pria bersurai coklat panjang itu melontarkan pertanyaan penuh kekhawatiran. Raut wajah yang terlihat keras itu melunak.

"Dia baik-baik saja, Tou-sama. Maafkan aku karena tidak becus menjaganya." Ujar Neji menundukan kepalanya, bahkan saat ini ia sudah bersimpu di bawah kaki sang ayah.

Ia menyesal karena perbuatannya Hinata kembali mengalami keadaan yang menakutkan. Karena pilihannya membuat sang adik tercinta hampir kehilangan nyawanya.

"Kau sudah mengurus semuanya?"

Neji mendongakan kepalanya, lalu kembali bangkit menatap sang ayah dengan rahang yang mengeras. Sial, mengingat kembali bagaimana kejadian tersebut membuat darahnya mendidih seketika.

"Dia putra dari Sabaku-san."

Dan sialannya yang telah melakukan penculikan tersebut adalah bungsu dari keluarga Sabaku.

Hiashi memijat pangkal hidungnya, mencoba mengurangi rasa pusing yang menyerangnya tiba-tiba. Bagaimana ini bisa terjadi, seorang anak dari keluarga Sabaku menculik putrinya?

"Lalu?"

Neji masih ingat saat ia sendirilah yang telah menembak pria bersurai bata tersebut. Amarahnya membuca ia tidak memikirkan apapun selain membunuh seseorang yang telah berani menyentuh adik tercintanya itu.

"Dia telah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, Tou-sama." Jawab Neji menundukan kepalanya, ini tidak akan menjadi masalah jika yang ia tembak mati itu adalah bajingan biasa, sialannya yang ia tembak mati adalah putra bungsu klan Sabaku.

Psycho [[Slow Up]]Where stories live. Discover now