Chapter 39

6.5K 609 25
                                    

©Claeria


"Jadi, gimana kondisinya Hanan sekarang? Aman?"

Jocelyn merapatkan ponselnya ke telinga, berusaha mendengar suara kembarannya yang sedikit terhalang oleh suara angin. Dia sengaja menerima telepon di balkon apartemennya untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi malah embusan angin yang kini mengganggu.

"Nggak usah khawatir, Lyla ada di sini sama gue," ujar Jocelyn sambil melirik ke dalam apartemennya.

Lyla duduk di atas sofa sambil memeluk lututnya sendiri. Matanya yang tampak membengkak menatap kosong layar televisi.

Kira-kira sejam yang lalu, Jocelyn dikejutkan oleh telepon dari Lyla. Sambil menangis, gadis itu meminta izin untuk menumpang di apartemen Jocelyn setelah bertengkar dengan Hanan. Yang membuat Jocelyn melongo adalah sahabatnya itu bercerita bahwa ia memutuskan untuk berpisah dari sang suami.

Tidak lama setelahnya, telepon masuk dari Joshua, menceritakan tentang kejadian serupa. Tidak mampu mencegah Lyla untuk pergi, Hanan muncul di rumah Sammy dan menangis seolah dunia akan berakhir esok hari. Khawatir sahabatnya akan melakukan hal gegabah, Joshua memutuskan untuk ikut menginap di rumah Sammy dan menemani Hanan.

"Well, untuk sementara kayaknya begitu, dia tetap kukuh sama keputusannya," Jocelyn mengembuskan napas dan menatap langit. Tidak ada bintang malam ini. "Besok dia mau ketemu sama temannya Theo yang pengacara itu."

Setelah mengakhiri percakapan dengan Joshua, Jocelyn kembali ke ruang tengah, menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, tepat di sebelah Lyla.

"Hanan... gimana?" tanya Lyla, tanpa menatap Jocelyn.

"Seperti yang semua orang bisa duga, he's a mess, La," jawab Jocelyn. "Joshua dan Sammy kewalahan, ini pertama kalinya mereka lihat Hanan kacau sampai segitunya karena patah hati."

Lyla terdiam. Ingatannya kembali ke beberapa jam yang lalu, ketika mereka bertengkar di teras rumah. Air mata mengalir membasahi pipi Hanan ketika pria itu mendengar keputusan Lyla. Seperti dijatuhi vonis hukuman mati, Hanan tidak berhenti memohon, meminta agar sang istri berubah pikiran. Namun, Lyla menepisnya. Ia mengabaikan permintaan Hanan. Dengan emosi yang meluap, Lyla meninggalkan Hanan sendirian di dalam tangis penyesalannya.

Lyla menggigit bibirnya. Kini ia sendiri tidak tahu apakah keputusan yang ia ambil sudah benar. Mengingat wajah Hanan yang memohonnya untuk tidak pergi membuat hatinya serasa dikoyak. Apakah ia tidak seharusnya meninggalkan Hanan? Apakah ia sebaiknya mengesampingkan egonya dan menenangkan diri sebelum berbicara dengan Hanan?

"Kata Joshua, Hanan nggak berhenti nangis. Akhirnya Sammy kasih dia alkohol yang banyak sampai akhirnya dia mabuk dan tidur," Jocelyn lanjut menjelaskan.

Kalimat itu sukses membuat Lyla akhirnya menoleh. Kedua matanya melebar tidak percaya, seakan tidak terima mendengar berita itu.

"What? Jangan bilang sekarang lo khawatirin laki-laki yang mau lo gugat cerai?" tanya Jocelyn.

Tidak menjawab kalimat Jocelyn, Lyla mendesah. "Badannya besok bakal terasa nggak enak kalau dia minum terlalu banyak. Perutnya Hanan itu lemah, Cel."

"Kalau lo masih khawatir sama dia, kenapa lo bilang mau cerai sama dia, La?"

"Itu... dua hal yang berbeda," jawab Lyla lirih. Dia menatap Jocelyn. Senyuman tipis tersungging di wajahnya, membuat mata sembabnya melengkung naik.

"Gue bisa aja masih sayang sama Hanan, tapi itu bukan berarti gue kuat nanggung rasa sakit kalau bersama dia."

It's a Trap!Where stories live. Discover now