Chapter 41

7.2K 703 72
                                    

©Claeria


Hanan menekan angka tujuh pada tombol lift rumah sakit, tempat ruang rawat inap VIP berada.

Papa yang pingsan setelah menyaksikan perdebatan di dapur tadi segera dilarikan ke unit gawat darurat. Menurut dokter, tekanan darah Papa yang tinggi menyebabkan pria itu kehilangan kesadarannya. Untungnya, pembuluh darah di kepala Papa tidak sampai pecah karenanya. Papa sudah pernah terkena stroke, serangan kedua tentu akan berakibat cukup fatal baginya.

Setelah kondisi Papa cukup stabil dan ia dipindahkan ke ruang rawat inap, barulah semua orang bisa bernapas lega. Papa sempat sadar, hanya sebentar sebelum ia terlelap dan belum bangun lagi hingga saat ini.

Ting!

Denting nyaring yang disertai terbukanya pintu lift membuat Hanan mengangkat wajah. Sambil menggenggam dua gelas minuman hangat yang ia beli di kafetaria, Hanan mengedarkan pandangannya ke deretan kursi di dekat ruang perawat. Di jam sebelas malam ini, hanya ada sekitar lima orang yang menunggu di sana, tapi Hanan tidak menemukan wanita yang ia cari.

Setelah berjalan lebih jauh, Hanan akhirnya menemukan Lyla di deretan kursi di pinggir ruangan. Posisinya ada di sudut, di balik tembok dan cukup tersembunyi. Hanan mengembuskan napas. Lyla pasti sengaja duduk di sana untuk mengurai pikirannya yang kusut.

Sejak Papa pingsan, Lyla tidak banyak bicara. Perempuan itu tampak linglung, tidak tahu harus berbuat apa. Sedari tadi Hanan dan Danny yang sibuk membawa Papa ke rumah sakit serta mengurus semua keperluannya. Lyla tampak terlalu syok untuk bisa berbuat apa-apa.

"Here you go, hot chocolate," Hanan menyodorkan salah satu gelas kertas dalam genggamannya kepada Lyla.

Lyla mengangkat wajah dan tersenyum tipis menerima gelas dari Hanan. "Thank you."

Hanan mengambil tempat duduk di samping Lyla dan menyesap kopi di gelasnya. Lyla duduk bersandar dan mengikuti pria itu, mencicipi minumannya. Rasa manis dan hangat membuat tubuhnya yang tegang terasa lebih rileks.

"Ayah sama Bunda udah pulang?" tanya Lyla sambil meletakkan gelasnya di meja kecil yang terletak di samping kursinya.

"Udah. Kak Carla sama Chacha juga udah pulang. Bang Danny sama Mama ada di kamar, nungguin Papa," jawab Hanan. "Abis ini kamu pulang sama Mama gih, biar aku sama Bang Danny yang nginep malam ini."

Lyla menggeleng. "Biar aku aja yang nginep di sini. Kamu pulang aja, besok kan harus bangun pagi dan kerja. Nanti malah repotin kamu."

Hanan menaruh gelasnya di kursi sebelah. Ia beralih kepada Lyla dan menyanggah. "Repotin apanya sih? Papa itu kan orang tua aku juga. Udah sewajarnya aku ikut jaga di rumah sakit."

Hanan meraih tangan Lyla dan menggenggamnya. Tangan itu terasa begitu kecil dan dingin, kontras dengan telapak Hanan yang hangat. "Lagian kamu udah lemas begini, yang ada nanti malah pingsan karena kecapekan."

"Tapi ini semua terjadi gara-gara aku, Hanan. Aku nggak mau pulang sebelum Papa pulih," Lyla berkeras.

Menyadari suara Lyla yang berubah serak, Hanan menggenggam tangan wanita itu lebih erat. "Kenapa kamu ngomong gitu sih, La? Ini bukan salah kamu."

Lyla menggeleng, menolak usaha Hanan untuk menenangkannya. Berusaha membuat suaranya tidak terdengar bergetar, Lyla berkata. "Ini salah aku, Hanan. Andai aku nggak ajak kamu pisah, mungkin nggak begini jadinya. Papa nggak akan syok dan pingsan."

Usaha Lyla tampaknya percuma. Tangisnya sudah mencapai pangkal tenggorokan, siap pecah kapan saja. Lyla menggigit bibirnya, berharap rasa sakit di sana mampu mengalihkan rasa bersalah yang menggerogoti dadanya.

It's a Trap!Where stories live. Discover now