16. Apakah Ini Cemburu?

5.9K 425 36
                                    

“Ceritakan semuanya sama saya.”

Kala mengerjap-ngerjap polos, ia tidak biasa disuruh cerita oleh papanya.

“Kamu bilang mau cerita sama saya, ya udah cerita sekarang. Kenapa malah diam?” Tristan duduk di tepi ranjang tepat di sebelah Kala.

“Papa mau dengelin anak Papa celita coal latihan tadi ciang?” tanya anak itu memastikan. Tristan gengsi, tetapi karena terlampau penasaran ia pun mengangguk.

“Iya.”

“Caya mau celita tapi cambil tidul di cini.” Kala menidurkan dirinya di pangkuan Tristan yang langsung bergeser.

“Jangan tidur di pangkuan saya, kaki saya pegal.”

Kala langsung manyun. “Kalau gitu Caya ga mau celita ama Papa.”

“Kenapa kamu nggak mau cerita, ha? Saya kan Papa kamu.” Tristan berdecak kesal.

“Papa juga ga mau pangku Caya padahal Caya kan anak Papa,” celetuk Kala sambil menatap Tristan yang bungkam karena kalimatnya.

“Ya udah sini tidur di pangkuan saya.” Setelah diam beberapa saat akhirnya Tristan membiarkan Kala tidur di pangkuannya. Itu semua ia lakukan hanya demi mendapatkan informasi dari anak itu, tidak lebih.

“Makacih, Papa.” Tanpa buang kesempatan, Kala langsung menidurkan diri di pangkuan papanya. Anak itu menatap wajah papanya dari bawah dan tersenyum lebar, senyuman yang begitu mirip dengan Tristan.

“Sekarang ceritain gimana waktu kamu latihan tadi.”

“Waktu latihan tadi celu banget coalnya di cana banyak teman, meleka lebih tinggi dali Caya, tapi meleka Cuka belteman ama Caya,” cerita anak itu sambil memainkan jemarinya.

“Pelatih kamu gimana?”

“Di cana ga ada pelatih, Papa,” balas Kala lugu.

“Terus yang ngajarin kamu siapa kalau nggak ada pelatih?” Pertanyaan Tristan terdengar ketus, tetapi Kala tetap suka mendengar pemuda itu bertanya tentangnya. 

“Cabum.”

“Pelatih sama Sabeum sama aja. Cuma beda sebutannya aja.”

“Ooo.” Kala mengangguk mengerti. “Cabum Caya itu baiiik banget. Tadi Cabum bantuin Caya latihan, telus habis latihan Cabum beliin Caya ama Akak es klim. Telus Cabum juga bilang Akak cantik ama minta nomol telepon Akak waktu mau pulang. Telus tadi Cabum langcung telepon dan bicala ama Akak.”

Entah kenapa perasaan geram meliputi diri Tristan mendengar hal itu.

“Sabeum kamu itu masih muda?”

Kala mengangguk. “Macih muda dan tinggi kayak Papa.”

Tristan berdeham pelan. Ia tahu ini konyol tapi ia harus menanyakannya. “E … ganteng nggak?”

Dengan lugu Kala mengangguk. “Ganteng. Kalena kata Akek, olang baik pasti ganteng.”

“Gantengan mana saya sama pelatih kamu?” Tristan memelankan suaranya. Mengantisipasi agar Khanza tidak mendengar pembicaraan mereka.

“Ganteng Cabum.”

Tristan makin geram mendengarnya. Sebelum ia lanjut bicara Kala sudah lebih dulu tertawa terbahak-bahak.

“Cabum ganteng, tapi Papa lebih ganteng lagi. Jadi Papa jangan malah dulu hehehe.”

Tristan berdecih pelan. “Saya juga udah tau kali kalau saya lebih ganteng dari dia.”

Kala masih tertawa, bibir papanya yang sedikit manyun terlihat lucu di matanya. “Caya cetuju, Papa yang paling ganteng di dunia.”

Tristan berdeham, walau selalu kesal pada Kala, tidak bisa dipungkiri bila ia sedikit senang dipuji demikian. Sebab ia percaya bila anak kecil tidak pernah bedusta.

Anak Mantan (A Lovely Thing Called Hope) Where stories live. Discover now