14 - Kebohongan Nara

256 6 0
                                    

"Kakak, kok aku gak denger suara mobil Kakak? Terus, Kakak cepet banget lagi balik ke sini," cerca Diandra begitu Devan tiba di ambang pintu ruang tamu.

Orang tuanya dan Rio masih di sana. Setia menunggu Devan beserta penjelasannya. Atensi mereka berhasil terkait, mengarah ke arah Devan seutuhnya.

"Jadi dia cewek yang kamu maksud? Kenapa kamu sampe bawa dia pake cara digendong segala? Apa dia selemah itu?" sarkas Adrian.

Devan memutar bola matanya. Ia berjalan ke arah sofa yang masih memiliki ruang kosong untuk dirinya dan juga Nara. Tentu dengan jarak yang cukup jauh dari Rio.

"Kakak ngapain bawa aku ke sini, sih?" tanya Nara, nyaris tidak terdengar. Namun, cukup terdengar jelas untuk Devan.

"Lo cukup jawab pertanyaan mereka, sejujur-jujurnya, kecuali soal hubungan kita," titah Devan dengan suara pelan, layaknya sebuah bisikan.

Devan perlahan menurunkan tubuh Nara. Mendudukan Nara di sofa, kemudian mendudukan diri tepat di sampingnya.

Mata Adrian membola, membulat sempurna saat ia dapat melihat wajah Nara dengan cukup jelas.

"Nara? Itu beneran kamu?"

Nara seketika menengadahkan pandangan, hingga matanya beradu pandang dengan mata Adrian yang menatapnya, tidak percaya.

Semua orang menatap Nara keheranan, begitu pun Rio dan Devan.

Devan menoleh sekilas ke arah sang ayah yang sudah mengulas senyum senang saat beliau masih menatap Nara.

"O-Om kenal aku?" tanya Nara, sedikit terbata.

"Kamu gak inget sama Om? Om ini teman bisnis ayah kamu. Kita sempet ketemu sekitar lima bulan yang lalu di luar negri," tutur Adrian dengan wajah sumbringahnya.

Nara menelisik wajah Adrian sebentar. Mencoba mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian, bibirnya merenggang, mengulas senyum tipis. "Ah, Om Adrian. Lama gak ketemu, Om. Aku sampe agak lupa." Nara sedikit membungkukan tubuhnya sekilas.

Adrian mengulas senyum senang, wajahnya semakin cerah, memancarkan rona bahagia begitu akhirnya Nara bisa mengingatnya. "Om denger kamu pindah sama mama kamu. Apa rumah kamu ada di sekitar sini?"

Nara mengangguk samar sebentar. "Iya, rumah aku ada di samp-" Nara menghentikan perkataannya saat ia mengingat, bahwa Rio juga ada di sana. Ia menoleh sebentar, ke arah Rio yang sedari tadi sudah menatapnya.

Nara meremat ujung piyamanya gemas. Degup jantungnya menggila, bertempo cukup cepat. Ia menundukan pandangan dengan pelupuk mata yang sejenak terpejam. Ia menelan ludahnya dengan susah payah, membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa sangat kering-kerontang.

Semua orang kecuali Rio menatapnya khawatir, karena Nara menjeda perkataanya terlalu lama.

Devan yang menyadari tubuh Nara mulai gemetar pun, menengkup tangan gadis cantik itu, merematnya dengan lembut, membuat Nara menoleh ke arahnya seketika.

"Rumah Nara emang ada di sekitar sini," tandas Devan, melanjutkan.

"Nara, apa kamu baik-baik aja?" sahut Adrian, bertanya.

Nara menoleh ke arahnya, lalu mengangguk. "Y-ya. Aku baik-baik aja, Om. Kalau aku boleh tau, kenapa Kak Devan sampe bawa aku ke sini ya, Om?"

"Ah bener. Aku sampe lupa. Ayok kita persingkat aja obrolan kita. Aku udah capek dan luka di mukanya Kak Rio harus cepet-cepet diobatin" Diandra menimpali. "Jadi Nara. Aku pikir usia kita sama. Jadi ayo bersikap santai aja. Kak Devan bilang, kalau Kak Rio udah nyentuh kamu. Apa itu bener?" imbuhnya.

Mata Nara membelalak. Membulat sempurna. Tubuhnya seketika menegang. 'Jadi bener apa kata Mely di telpon tadi, Kak Devan bener-bener mukulin Rio?'

Nara memendarkan pandangan, hingga maniknya berhasil mengunci wajah Rio yang dipenuhi luka lebam di sebagian pipinya.

"Kak Rio gak mungkin nyentuh kamu tanpa alasan kan? Lagian, sentuhan kayak apa yang Kak Rio lakuin sampe Kakak aku marah banget dan mukulin dia dengan brutal?" tambah Diandra lagi.

Nara memaku. Ia menatap Diandra yang sudah mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan. Namun, entah kenapa, ada rasa sedih cukup mendalam yang terpancar saat manik matanya menatap sosok Diandra. Rasa sedih bercampur rasa iba pun penyesalan yang luar biasa.

"Apa kamu bisa jawab pertanyaan aku Nara ...?"

Nara terperanjat. Ia mengerjap, seolah baru saja kembali tersadar dari lamunannya. Ia menunduk sebentar sebelum kembali menatap Diandra dengan tatapan lembut.

Nara menoleh ke arah Devan yang bungkam, sebentar. Bibirnya merenggang, mengulas senyum penuh pengertian. "Maafin pacar aku yang emang posesif ini ya?"

"Diandra, panggil aja aku Dian"

Nara mengangguk samar. "Ok, Dian. Maaf soal insiden pemukulan yang udah dilakuin Kak Devan. Kayaknya Kak Devan udah salah paham sama Kak Rionya kamu, karena ulah fans ceweknya yang udah sengaja nyiram aku siang tadi. Aku tau, mereka marah karena ngeliat Rio'nya kamu nyentuh aku, karena aku saat itu hampir aja jatoh dan aku pikir, Kak Devan salah paham soal kejadian itu," dustanya.

Penuturannya sangat lembut dan sempurna. Membuat siapa pun yang mendengarnya bisa saja seketika percaya.

Dan itulah yang terjadi pada Diandra beserta kedua orang tuanya.

Sedangkan Rio dan Devan, menatap Nara tidak percaya dengan mulut yang sedikit menganga.

"Hey! L-Lo! Gimana lo bisa bilang kayak gitu? Jelas-jelas Rio, si bajingan itu udah nyentuh lo dan ninggalin bercak merah bekas cipokan di leher lo!" pekik Devan, tidak terima.

Mata Diandra membola. Ia menelisik leher jenjang Nara dengan seksama, hingga matanya berhasil menemukan bercak merah yang Devan maksudkan. Diandra menoleh kesal ke arah Rio yang sama terkejutnya.

Nara terkikik kikuk. "Oh Tuhan. Jadi Kakak marah cuman karena soal itu? Apa Kakak gak inget? Kalau Kakak yang udah bikin bercak merah ini di leher aku pagi tadi," dustanya lagi.

Mata Devan lagi-lagi membola. Nara mencoba menutupi kenyataannya. Dan Devan, sama sekali tidak mengerti apa alasan Nara melakukan hal tersebut.

Di sisi lain, tidak ada yang tahu, bahwa Rio tengah menahan amarahnya yang bergejolak saat Nara menutupi kenyataan dan mengalihkan hak milik tanda merah yang ditinggalkan bibir miliknya pada Devan.

"Kamu liat. Kayaknya apa yang Nara bilang ada benernya. Semua ini cuman sebuah kesalah pahaman. Papa cape. Mau istirahat. Nara, nikmatin waktu kamu dan coba selesaikan masalah kamu sama anak Om, segera ya," tutur Adrian seraya beranjak dari duduknya, diikuti oleh Devina, kemudian berlalu meninggalkan para pemuda yang tengah dimabuk cinta itu, menyelesaikan masalah mereka.

Diandra menoleh ke arah Devan, menatapnya dengan tatapan tajam. "Liat Kak. Kakak mukulin Kak Rio cuman karena masalah sepele kayak gini." Ia menggeleng samar seraya berdecak kesal. "Aku bener-bener kecewa sama Kakak."

Setelah itu, Diandra menoleh ke arah Rio yang masih beradu tatap dengan Nara. "Kak, tunggu di sini bentar ya. Aku mau ngambil kotak P3K buat ngobatin luka Kakak," imbuhnya, lalu ia berjanjak dari duduknya, meninggalkan Devan, Rio dan Nara di sana.

Devan membuang napas kasar seraya menyisir rambut hitamnya dengan jemarinya yang jenjang, frustrasi. "Gue kira lo orangnya gak pinter bo'ong, tapi ternyata gue salah."

Pemuda itu lantas bangkit dari duduknya setelah menatap lekat Nara, sekilas, lalu berjalan mendekati anak tangga untuk pergi ke kamarnya, meninggalkan Nara dan Rio berdua saja.

Tubuh Nara kembali gemetaran hebat tatkala tatapan tajam Rio masih tertuju ke arahnya. Ia menundukan kepala, meremat telapak tangannya yang bertaut di pangkuan, mencoba meredam ketakutan.

Ia sangat ingin pergi dari sana sekarang juga. Namun, kakinya terasa lemas tidak berdaya, tidak memiliki sedikitpun tenaga. Kejadian yang menimpanya di masalalu, menyisakan trauma yang mendalam baginya, membuatnya sangat membenci sosok Rio.

Namun, sayangnya rasa benci itu agaknya masih terkalahkan oleh rasa takut yang teramat.

'Seseorang, tolong selamatin aku.'

Obsesi & CintaWhere stories live. Discover now