44 - Pulang

7 1 0
                                    

Rasanya tak sanggup dengan keadaanku sekarang. Imanku tak cukup kuat untuk mengatakan bahwa aku sanggup melewati ujian ini. Sungguh! Aku tak sanggup lagi!

Aku berjalan lunglai keluar dari toilet ini. Kepala ku terlalu sakit karena efek obat tidur yang sudah tercampur dalam darahku. Jika aku pingsan, mungkin aku akan ditemukan oleh petugas kebersihan sekolah besok pagi. Semua orang akan bertanya apa yang kulakukan di tempat ini dan..... aku tak mungkin menceritakan kebenaran. Yang harus kulakukan hanyalah keluar dari tempat ini.

Aku mencari kerudung yang kugunakan tadi di tempat yang dikatakan Kak Nadia. Tapi tak ada. Kucari di antara semak-semak, juga tidak ada. Untung saja di tempat ini tak ada orang jadi tak ada yang melihat aku tanpa kerudung.

Ya Allah, kenapa tidak ada? Kenapa mereka membohongi ku?

"Pakai ini!"

Suara seorang lelaki mengagetkanku. Asalnya dari belakang. Dia berbalik membelakangi ku dan memberikanku jaket Hoodie nya.

Astaghfirullah Ya Allah.. maafkan aku yang tidak bisa menjaga auratku sendiri.

Aku ingin berlari masuk ke dalam toilet lagi namun ia mencegah.

"Pakai ini! Aku tidak melihat apapun," ucapnya. Itu Rian. Dia benar-benar berbalik membelakangi ku. Aku tak tahu apa yang membuatnya bisa berada disini. Apapun alasannya, dia pasti ingin menolongku.

Aku lalu menggunakan jaket Hoodie miliknya. Resletingnya ku pasang hingga ke ujung agar leher dan rambutku tertutup sempurna.

"Terima kasih."

Dia berbalik menghadapku lalu menatapku beberapa detik. Aku hanya bisa menunduk.

"Maaf tidak bisa menolongmu tadi. Ini salahku," Ujar Rian dengan raut wajah jelas mengasihaniku. Kondisiku yang sekarang memang pantas untuk dikasihani.

"Ayo pulang," kataku dengan sisa tenaga yang ada.

Aku berjalan selangkah namun mataku sudah tak sanggup lagi terbuka. Saat semua yang dihadapan ku terlihat berputar, disaat itulah tubuhku ambruk dan tak sadarkan diri.

***

Aku membuka mata perlahan.

Dimana ini? 

Aku berharap sedang berada di kamar dan kejadian di toilet sekolah itu hanyalah mimpi. Namun tidak! Aku sedang berada di dalam mobil dengan kepalaku yang bersandar di bahu seorang lelaki yang menolongku tadi.

Astaghfirullahaladzim..

Aku menegakkan kepalaku meski rasanya sangat berat.

"Kita mau kemana?"

"Ke rumah sakit."

Aku menggeleng, "kita pulang saja, Rian!"

"Tapi Manda, kamu sudah pingsan! Kalau ada apa-apa gimana?"

"Gak mau! Kalau mama papa cariin gimana? Aku mau pulang, Rian! Tolong.."

Rian terdiam sesaat.

"Masih kuat?"

Aku mengangguk perlahan lalu menyandarkan kepalaku di kaca jendela mobil ini. Rian lalu memberitahu Pak Sopir untuk memutar balik ke arah rumah kami.

Sesampainya di rumah, sebelum turun dari mobil, Pak Sopir memberi pesan kepada Rian,

"Dek, nasibmu masih panjang. Jangan hancurkan masa depanmu dan cewek mu itu! Belajar yang bener! Kuliah yang bener! Cari kerja yang bener! Jangan cuma jadi beban orangtua! Abang tak pandai agama, tapi abang tahu cinta-cintaan masa remaja itu semuanya cuma omong kosong! Syaiton itu bakal terus godain sampai manusia itu benar-benar terjerumus sama lubang dosa! Abang bilang ini karena Abang peduli yah dek. Jangan salah paham! Jangan dikasih bintang satu! Tapi lebih baik saya dikasih bintang satu dibanding harus diam dan tidak menasihatimu." Ucapnya sambil mengarahkan badannya ke bangku penumpang. Rian menatap polos. Aku hanya bisa mendengarkan dengan wajah lesu.

AmandaWhere stories live. Discover now