21-Percaya

114 30 1
                                    

"Gila, nilai lo Manda! Ada banyak angka satu di depan dua nol!" kata Salsa sambil melihat isi dari map yang diberikan tadi.

"Ribet banget sih ngomongnya, bilang aja seratus! Lebay deh!"Sahut Tania.

"Eh, lo kan gak tahu kalo gue pernah ngerasain dapat nol tanpa ada angka satu yang mendampingi!" lanjut Salsa sambil menggoyangkan kipasnya,"Nol aja butuh pendamping, apalagi gue!"

"Iya, kok bisa sih manda, nilai rata-rata kamu setinggi ini terus masuk kelas kayak gini?" tanya Ucok yang lagi menyandarkan punggungnya di dinding.

"Aku lagi gak mood waktu tes, pengennya masuk pesantren aja. Jadinya gitu deh.."

"Assalamualaikum..." Bu Ida kini muncul dengan wajah biasa saja. Apa ada kabar buruk? Harusnya beliau senang dengan pencapaian kami.

"Waalaikumssalam."

"Ibu,kenapa wajah ibu jadi kusut lagi, bu?"

"Pertama saya sangat apresiasi usaha kalian."

"Tapi... Amanda, yang nilainya nyaris sempurna, di usulkan untuk pindah kelas ke IPS 1." Perkataan itu membuat semua terdiam. Aku nyaris saja berdiri tak terima jika harus pindah kelas.

"Lo? Kok gitu, bu?" tanya Adam.

"Amanda memiliki potensi, nak. Kelas IPS 1, dengan siswa yang sedikit dengan waktu belajar lebih lama dipersiapkan untuk ikut olimpiade. Dan sekarang, Amanda berpeluang untuk itu. Sebelum masuk IPS 3 saja kepala sekolah ingin memasukkannya ke kelas IPA."

"Tapi.. Tapi aku gak mau, bu." Aku mulai angkat suara.

"Tapi, Manda. Kamu tahu kan bagaimana bedanya situasi belajar dikelas ini dan kelas lain? Sangat jauh berbeda. Kamu bisa fokus belajar, kamu bisa mengharumkan nama sekolah kita. Kamu juga bisa berpeluang masuk PTN bergengsi tanpa harus tes."

"Maaf bu, tapi menurut saya kesuksesan tidak bergantung pada kelas mana seseorang. Tapi pada tekad dan usaha seseorang. Saya percaya usaha tidak pernah menghianati hasil. Jadi tolong, izinkan saya tetap disini, bu."

"Tapi, nak. Ini juga bukan untuk kamu. Ini untuk sekolah kita."

"Maaf saya juga mau bicara, bu. Yang dapat nilai tertinggi itu IPS 3, bukan IPS 1. Itu berarti kualitas kelas ini lebih baik dari IPS1. Bagaimana? Bener gak temen-temen?" ucap Adam yang duduk di bangku belakang. Mengundang anggukan seisi kelas. Membuat rasa bangga tersendiri bagiku dan mungkin juga bagi teman-teman.

"Aku juga gak setuju kalau Manda harus pindah kelas, bu. Kita memang berada di kelas dengan nilai rata-rata terendah seperti ini, tapi kami sudah seperti saudara, gak mau dipisahkan lagi," ucap Ririn.

"Baiklah, ibu akan memohon pada kepala sekolah. Semoga saja Amanda tetap di kelas kita."

"Tapi ada satu masalah lagi..."

Ibu Ida membuang napas berat. Seakan menghembuskan atmosfer keputusasaan. Kami hanya bisa diam menatap wajah Bu Ida.

"Nilai tertinggi kedua diraih oleh Adam," ucap Ibu Ida dengan nada putus asa.

"Itu mah berita bagus, bu. IPS 3. Emang Adam, gue yang ngajarin kalo di rumah," kata Ucok tertawa.

"Eh, nilai lo aja lebih rendah dari Adam!" balas Tania.

"Bukan itu masalahnya, anak-anak. Semua guru tidak percaya dengan pencapaian Adam. Mereka semua mengira kalau Adam berbuat curang."

"Apa yang salah sama Adam? Ibu gak tahu kalo..." ucap Ucok yang tiba-tiba dipotong oleh Adam. Sepertinya Adam tidak ingin orang tahu pencapaiannya waktu sekolah dulu. Aku ingat apa yang dikatakan pembantunya Adam waktu itu. Pembantunya bilang saat sekolah dulu Adam sering juara kelas dan hanya karena broken home, prestasinya menurun.

"Semua guru yang mengajar di kelas ini menyaksikan kalau Adam sering tidur di kelas, nilai ulangan harian hampir semua nol dan tugas tidak ada yang dikumpulkan. Apalagi kalau bukan nyontek sama Manda?"

"Tempat duduk mereka jauh kok bu," bela Ririn.

"Kalau bukan nyontek, kemungkinan Adam dapat bocoran soal."

"Gak bu! Kami semua lihat Adam belajar kok," ucap Ririn yang mulai nge-gas.

"Ibu percaya sama kalian. Tapi orang lain? Guru-guru di kantor sudah mencurigai Adam. Bahkan kalian semua yang ada di kelas ini. Mungkin masalah ini akan diselidiki lebih lanjut oleh guru BK."

Ucapan Bu Ida membuat seisi ruangan terasa mencekam. Kami saling baku tatap dengan perasaan kecewa, marah sekaligus takut. Seakan perjuangan kami belajar hingga jungkir balik itu sia-sia saja.

"Dapat nilai rendah, salah. Nilai tinggi juga salah. Apa sih maunya mereka?" keluh Salsa yang diikuti oleh desahan napas berat.

"Kita gak boleh diam aja, bu. Kita semua harus klarifikasi masalah ini. Kami semua belajar kok, bu. 100 soal perhari dari tentornya Salsa dan mungkin hanya 40% yang masuk."Ririn mengucap kalimat itu dengan emosi. Ia berdiri sembari tangannya bergerak-gerak tegas. Aku dan yang lainnya mengangguk setuju. Dan memang benar, soal yang dari Salsa hanya sebagian yang masuk, selebihnya aku belajar sendiri. Entah itu dari buku paket atau catatanku sendiri.

"Baiklah, kalau itu kebenarannya. Saya percaya kalian. Tapi ingat, sebagai walikelas, ibu adalah orang pertama yang harus kalian ajak bicara jika ada masalah. Karena kalian tahu sendiri, setiap masalah kalian, ibu yang bertanggungjawab. Dan jika... Kalian terbukti berbuat curang, maka.. ibu harus siap menerima hukuman dari kepala sekolah. Kalian ngerti, kan?"

Kami mengangguk paham. Kasihan sekali jikamisalnya ibu Ida harus menanggung beban ini sendirian. Kami tidak berbuatsalah, tapi jika kesalahpahaman ini terus berlanjut , habis sudah IPS 3.

*** 

AmandaWhere stories live. Discover now