34 _khawatir

81 21 3
                                    

Apa yang kupikirkan benar. Kak Hana akan menjadi cadangan sedangkan aku yang bertindak sebagai inti dalam lomba ESC tingkat kota mewakili sekolah. Bagaimana jika Kak Hana dan Kak Nadia datang mencelakai ku lagi? Aku tahu lomba ini sangat penting untuk masuk universitas melalui jalur prestasi. Apalagi jika Kak Hana kelas 12 nanti, ia tidak mungkin mengikuti lomba ini lagi.

Aku memandang nanar apapun di hadapanku. Banyak yang memperhatikanku selama perjalanan menuju kelas. Entah merasa iri, kagum atau apa. Jelas pengumuman tadi membuat namaku begitu terkenal satu sekolah. Tapi itu tidak kupedulikan. Saat masuk ke kelas pun dan kuceritakan bahwa aku akan mengikuti lomba ESC lagi, Ucok dan kawan-kawan kembali bersorak. Bahagia sekali mereka meskipun aku hanya tersenyum paksa dikala kepalaku terus memikirkan kak Hana.

Apa kuceritakan pada mereka kegalauanku? Tapi bagaimana jika aku hanya suudzon saja pada Kak Hana? Atau jika kuceritakan pada mereka, mereka juga pasti akan menanyakan bagaimana perlakuan Kak Nadia dan Kak Hana padaku waktu dulu. Ya Allah, aku harus bagaimana?

***

Sesampainya di rumah, mama dan papa langsung menyambutku dengan bahagia. Mereka lagi-lagi berantem menyebut kalau aku mewarisi otak siapa. Biasanya aku menatap heran, atau bahkan tertawa melihat tingkah mereka, namun kali ini, aku terus menunduk sambil menggigit bibir. Masalah kak Hana terus menggangguku meski kutahu hari ini ada begitu banyak kabar bahagia yang harus mendominasi pikiranku.

"Manda, kamu kenapa?" tanya papa saat ia menyusulku ke kamar.

"gak ada apa-apa, pa."

"Di hari bahagia ini, harusnya kamu gak murung gitu, nak. Apa Rian gak ngasih kamu hadiah?"

"Ah, papa! Bukan itu!"

"Rian ngasih kamu permen seribu isi empat biji."

Ah, papa hoby sekali menggodaku. Aku bahkan lupa kalau Rian harus memberiku hadiah.

"Bukan, pa.."

"Terus apa, anakku yang paling cantik di dunia?"

Aku terdiam menatap papa serius. Sebenarnya papa pasti bisa mengartikan ekspresiku kalau aku ingin sendiri sekarang.

"Ya iyalah aku anak papa yang paling cantik di dunia. Karena anak papa di dunia ini cuma ada satu."

"Pinter," ucap papa tersenyum sambil mengacak rambutku.

"Jadi kamu gak mau cerita sama papa?"

Aku takut papa khawatir.

"Manda gak papa kok pa."

"Jadi kamu mau cerita semuanya pada Rian tapi sama papa kamu sendiri tidak? Ya sudah, papa tanya sama Rian."

"Astaghfirullah, pa. Ngapain tanya Rian! Iya deh, Manda cerita sama papa."

"Gitu dong! Jadi kamu kenapa, sayang?"

"Jadi Manda menang ESC hari ini, terus disuruh buat wakilin sekolah lomba ESC lagi."

"Wah, bagus dong, nak. Terus kenapa Manda sedih?"

"Ya karena ceritanya belum selesai, pa.! Jadi, senior Manda namanya Kak Hana yang juara 2 itu jadi cadangan."

"Terus apa masalahnya? Itu berarti sekolah kamu itu pinter, juara satu wakilin sekolah, juara dua jadi cadangan."

"Lomba ini penting banget pa. Kalo bisa ke tingkat nasional bahkan internasional kemungkinan masuk universitas mana saja itu mudah banget pa. Terus Kak Hana kan udah kelas sebelas, dia pasti butuh lomba ini buat masuk univ. Kalo aku kan bisa ikut tahun depan."

"Tahun lalu dia gak ikut?"

"Gak tahu juga sih pa, tapi kedengerannya dia kesal pas tahu bukan dia yang wakilin sekolah."

"Manda, sekolah kamu mikirnya yang penting menang. Urusan siapa yang dapat tiket masuk universitas mereka gak peduli. Kamu gak usah ngerasa gak enak sama senior kamu itu! Itu sudah pilihan sekolah."

"Iya juga sih pa. Tapi..."

Tapi..Manda pernah di-bully sama teman-teman nya, pa. Manda gak mau kejadian itu terulang lagi. Rasanya gak enak.

"Manda, yang harus kamu pikirkan, gimana caranya biar bisa menang. Kalau yang harus wakilin sekolah itu kamu, berarti itu salah senior kamu yang gak juara satu lomba ESC kemarin."

Aku terdiam. Papa benar. itu salah kak Hana sendiri kenapa gak bisa ngalahin aku. Kalau kak Hana ngerti itu, aku gak mungkin dirundung seperti dulu.

***

AmandaWhere stories live. Discover now