16

1.7K 274 20
                                    

"Kalau dari apa yang gue dengar tadi cerita Bapak, wanita yang di maksud adalah tunangan Bapak sendiri. Berati wanita yang di kurung di mansion." gumam Kara memikirkan tentang mansion itu.

Sebenarnya ia hanya penasaran dengan kematian Ibu Zain, dan di sini sepertinya Zain tidak tahu apa-apa. Termasuk tentang Ibu-nya.

"Kalau emang yang di maksud Bapak wanita itu, berati saudara kembar Ayah masih hidup dong? Tapi di mana, selam gue hidup sama Ayah gak pernah lihat tuh, gak pernah juga ada yang bhash." Kara turun dari tempat tidurnya, dengan pelan-pelan dia berjalan keluar dari ruang rawatnya.

Kara mendudukkan dirinya di kursi tunggu, sampai kamar rawatnya. "Anak Tante Rani anak Bastian, pantesan Ayah sayang banget sama dia, ternyata anak saudara kembarnya. Intinya di sini udah ketemu titik terangnya, kemungkinan besar yang bunuh Ibu Zain itu Bastian."

"Tapi waktu itu Pak tua bilang, belum tau pembunuh aslinya. Maksudnya pelakunya gak cuma Bastian gitu? Tapi wanita itu penah bilang, seorang pecundang datang sebagai penolong, sang Tuan rumah yang menggila. Orang terdekat cuma satu orang, ya pak tua itu sendiri, jangan-jangan-"

"Jangan-jangan apa? Lihat ini jam berapa? Kenapa duduk di luar?" sura Raka membuyarkan lamunan Kara.

Kara menoleh ke belakang, menatap Raka yang berdiri di ambang pintu masuk. "Bapak ngapain di situ? Masih malam tuh, tidur lagi Pak." ucapnya sambil tersenyum pada Raka.

"Harusnya Bapak yang nanya, kamu ngapain di sini?" Raka mendudukkan dirinya di sebelah Kara. "Kamu gak bisa tidur? Masih mikirin tentang orang tua kamu? Gak perlu di pikirin lagi, Bapak kan udah bilang. Bapak sama Zain yang bakalan jadi keluarga kamu. Bapak yang akan jadi orang tua kamu." ucap Raka mengusap rambut Kara dengan lembut.

"Aku gak mikirin soal itu Pak, tapi soal Zain."

"Zain? Kenapa dia? Dia marah-marah sama kamu?-"

"Bukan itu, tenang mansion. Mansion itu ada hubungannya kan Pak sama Zain? Ibu Zain meninggal di sana kan Pak?" tanya Kara menatap Raka dengan serius.

Raka menganggukkan kepalanya, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Dan Zain gak tau itu kan Pak?" ucap Kara.

"Zain tau kalau Ibu-nya udah meninggal, Zain juga tau kalau dia bukan anak Bapak. Tapi Zain belum tau kalau Ayah kandungnya itu Elang, yang Zain tau Ayah kandung sedang sakit, dan tidak bisa merawatnya sampai sekarang. Tapi Zain memiliki keinginan, jika suatu hari nanti dia akan datang ke tempat di mana Ayah kandungnya sedang di rawat, dia akan merawatnya sendiri, karena itulah dia suka meminta Bapak untuk mencari pasangan hidup."

Zain memang tahu jika dia bukan anak kandung dari Raka, tapi anak adik Raka. Dia juga tahu jika Ibu-nya sudah lama meninggal, namun dia belum tahu seperti apa rupa Ayah kandungnya yang katanya sedang sakit kerena kehilangan istrinya.

"Jadi Bapak tau tentang kasus pembunuhan di mansion?"

"Tau, tapi sampai sekarang belum tau pelakunya."

"Bukannya pelakunya itu udah jelas? Wanita itu dan Bastian,"

"Mereka memang merencanakan itu, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan jika mereka pelakunya. Bapak harap kamu gak ikut campur apapun dalam masalah ini. Biar jadi masalah mereka, kita gak perlu ikut campur." ucap Raka tak ingin Kara terlibat apapun dalam kasus ini, karena ia tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada Kara.

"Tapi ini keluarga Bapak, kalau aku bagian keluarga juga. Itu urusan aku juga Pak, kalau bukan kita yang cari tau, siapa lagi Pak? Om Elang gak mungkin,"

"Itu biar jadi urusan Bapak, yang terpenting sekarang kamu harus mikirin tentang diri kamu sendiri, lagian belum saatnya kamu bahas masalah orang dewasa, anak-anak seusia kamu cukup pikirin tentang sekolah." ucap Raka tersenyum lembut pada Kara.

"Tapi aku udah gak sekolah, jadi gak perlu mikirin tentang pelajaran ataupun tentang sekolah. Aku udah selesai sekolah,"

"Siap bilang? Mulai bulan depan kamu sekolah lagi. Bapak yang akan urus semuanya,"

"Tapi kan aku gak pintar, ngapin sekolah nanti malah bikin malu Bapak."

"Bapak gak akan minta kamu jadi juara, gak akan nuntut kamu harus pintar. Apa yang kamu suka, dan apa yang kamu mau. Asal itu baik dan itu gak merugikan kamu, itu yang akan Bapak dukung. Di sekolah gak harus jadi juara, karena buat Bapak kamu udah lebih dari juara. Kamu hebat." ucap Raka menatap anak itu dengan serius.

"Tapi Ayah bilang gak ada gunanya sekolah kalau gak pintar, yang ada malah bikin malu. Buang-buang uang, karena biaya sekolah gak murah Pak."

"Ada, ada gunanya. Dengan sekolah kamu bisa baca, bisa nulis dengan sekolah kamu punya teman. Kamu bisa olahraga dan masih banyak hal lainnya, sekolah gak harus tentang pelajaran, kamu cukup cari apa yang kamu suka di sekolah. Nanti Bapak yang akan dukung kamu sampai kamu berhasil, tapi dengan satu syarat."

"Apa?"

"Berhenti mencari tau tentang mansion, kamu cukup tau sampai di sini. Jangan terlibat lebih jauh,"

Kara menganggukkan kepalanya. "Kalau udah lulus sekolah boleh ikut campur lagi kan? Aku mau jadi detektif nantinya. Aku bakalan ajak Zain juga, dia harus mau."

"Ya itu kita bahas nanti lagi, sekolah lagi aja belum. Sekolah dulu baru kita bicarakan lagi, sekarang tidur lagi. Lumayan kan sampai pagi,"

"Tapi ini udah pagi Pak, udah setengah lima pagi." ucap Kara menunjuk jam dinding yang ada di ujung lorong rumah sakit.

"Ekhem, pada ngapain pagi-pagi ngerumpi di sini? Bapak juga kenapa adek aku di biarin keluyuran pagi-pagi gini? Bapak kan dokter, harusnya tau waktunya istirahat dan waktunya ngobrol," omel Zain yang baru saja keluar dari kamar rawat Kara.

"Pagi-pagi jangan ribut Zain, ini rumah sakit bukan rumah kamu." tegur Raka.

"Salah Bapak, udah tau anaknya lagi sakit malah di ajak duduk di luar."

"Adek kamu Zain yang di ajak masuk lagi gak mau, katanya mau duduk di sini aja." ucap Raka bangkit dari duduknya.

"Temenin adek kamu sebenar, Bapak mau keluar cari sarapan. Ajak masuk ke dalam, semalam kurang tidur, kalau bisa suruh tidur lagi."

"Aku mau sarapan mie-"

"Gak ada mie ayam di sini, paling nasi uduk. Kalau masih ada yang jualan." sela Raka sebelum anaknya itu meminta ini itu.

"Ayo dek masuk, gak usah dekat-dekat sama Bapak. Pelit dia, minta mie ayam aja bilang gak ada yang jual. Emang dasar gak mu cariin aja." ucap Zain menggandeng tangan Kara masuk ke dalam kamar rawatnya.

"Besok lagi kalau gak bisa tidur bangun aku, jangan bangunin Bapak. Kalau sama Bapak percuma di ajak nongkrong tapi gak di kasih cemilan,"

"Tapi yang di bilang Bapak itu benar, di sini gak ada mie ayam. Karena selama aku tinggal di sini gak pernah lihat orang jual mie ayam." ucap Kara yang menganggap ucapan Zain tadi dengan Raka itu serius. Tapi Raka tidak bohong, di desa memang tidak ada yang jual mie ayam.

"Iya, aku tadi cuma bercanda, gak seru kok." ucap Zain mengusap rambut Kara.

Sementara itu Raka tengah dalam perjalanan menuju mansion. Dia memutuskan untuk menemui Elang sebelum pergi ke kota.

Tujuan utamanya bukan untuk berpamitan pada Elang, tapi mengambil sesuatu yang bisa dia gunakan untuk melakukan tes DNA antara Elang dan Kara.

Jika yang di katakan Naira itu benar, makan ada kemungkinan Kara adalah anak Elang, tapi jika tidak maka dirinya akan mengurangi hak asuh Kara, menjadi anaknya bukan anak Elang.

"Apa pun nanti hasilnya, Kara tetap akan menjadi anak ku. Jika Elang ayah kandungnya maka aku harus memberikan Kara padanya, jika tidak maka Kara akan menjadi anak ku." monolog Raka sambil fokus mengemudi.

"Jika Kara anak Elang, artinya yang di katakan Naira benar. Adikku di bunuh di tempat lain bukan di mansion, karena anak itu di temukan di perbatasan kota dua hari sebelum kejadian di mansion. Artinya pembunuhan itu di lakukan di rumah Elang, di kota."

"Aku harus segera melakukan tes DNA antara Elang dan Kara, dengan begitu semuanya akan mudah." monolog Raka menambah kecepatan mobilnya, ia harus segera sampai di mansion. Karena pagi ini ia juga harus segera pergi membawa anak-anak ke kota dan pindah ke kota lain.

MANSION 59Where stories live. Discover now