13

262 60 3
                                    

Urusan dengan Alia memang belum selesai, tapi Erlangga sudah mengutarakan keinginan hatinya. Kini laki-laki itu dipaksa duduk oleh Syakina Rosalinda, karena ada hal yang akan disampaikan.

"Ibu?"

"Pulang."

Erlangga mengangguk, jelas pulang ke rumah nenek bukan ke Inggris. 

"Katakan, ada apa?"

"Ibu Mas melamarku."

Erlangga terdiam, satu hal melintas di benak saat tiga kata terucap dari bibir Syakina. "Lalu?"

"Mas enggak kaget?"

"Kaget," jawab Erlangga jujur. "Kamu jawab apa?"

Kina menggeleng. "Bingung, mau nolak ibu lihatin terus."

"Lalu?"

"Aku diam saja, ibu minta aku mikir nanti pas dia datang aku harus punya jawaban." resah, kenapa mendapatkan PR seperti ini. Gadis itu sanggup memasak apa saja, asalkan jangan disuruh mikir mau nikah dengan Erlangga atau tidak. Kina mendekat pada tuannya, lantas bertanya. "Ibu mikir macem-macem enggak Mas?"

"Misalnya?" tanya Erlangga ingin tahu kinerja otak Kina.

"Karena sudah tinggal se-atap mungkin ibu pikir kita ehm-ehm."

Ehm-ehm? Istilah apa itu?

"Karena ibu sempat nanya, Mas pernah peluk atau cium aku enggak? Ya aku jawabnya ada, peluk pas lagi Mas senang sama mba Al." 

Benar, Erlangga memikirkan lamaran ibunya. Bukan karena berpikir macam-macam. "Mungkin ibu suka sama kamu."

"Kan yang dipilihnya mba Alia."

"Kami sudah putus."

"Se-gampang itu?"

Erlangga menggeleng. "Aku berusaha tidak menyakitkan, tapi yang namanya putus ya tetap sakit."

Benar, Kina pernah merasakannya. Tapi di posisi ini gadis itu merasa bersalah. "Aku mau Mas tetap melanjutkan hubungan dengan mba Alia, dengan begitu aku merasa lebih baik."

"Kami tidak bisa melanjutkan." karena Erlangga tidak terbiasa dengan sikap dominan dari wanita. Sebagai lelaki ia tak suka diatur apalagi soal privasi. "Aku yang menjalani, jadi lebih tahu."

Kina tidak mendebat lagi. "Jadi bagaimana lamaran ibu?"

"Ibu menyuruhmu berpikir?"

Kina mengangguk. 

"Pikirkanlah."

"Mikir apa Mas, masa aku harus terima?" 

Erlangga juga tidak tahu. "Pernah dengar sholat istikharah?"

"Eum." Kina menatap pria itu, karena posisi mereka sangat dekat jadi gadis itu bisa melihat bulu-bulu halus Erlangga yang tumbuh dengan rapi.

"Lakukan selama tiga malam, aku juga."

Kina setuju, walaupun tidak berharap akan kejelasan hatinya, tetap akan dilakukan agar bisa memberikan jawaban yang tepat untuk ibu Erlangga.

"Mas tidur di sini malam ini."

"Baiklah."

Sebelum Kina masuk ke kamar, Erlangga mencekal tangan gadis itu.

"Kenapa?"

Sulungnya Elang Ardhana menilai raut Kina, dua detik kemudian ia menggeleng. Tidak ada desiran di hatinya, ia sudah yakin jika gadis itu sudah dianggap seperti adiknya.

"Tes saja."

"Tes?" Kina tidak mengerti.

"Kata orang kalau kita menyentuh seseorang dan dada berdegup artinya kita merespons."

Oh, Kina mengerti. "Pegang tangan enggak berdegup, Mas mau coba yang lain? Nanti gantian."

Apa? "Masuklah. Kamu pasti capek."

"Baik." Kina masuk ke kamar, malam belum larut, setelah bicara setengah hari dengan ibu Erlangga pikirannya cukup lelah belum lagi PR yang belum diselesaikan. Semoga beliau tidak datang besok.

Memutar musik dari ponsel saat tidur bukan kebiasaan, tapi malam ini gadis itu tengah galau. Buk, aku dilamar. Dan ia tidur, tepat di bait ketujuh alunan lagu milik Rossa.

Di luar, Erlangga tidak bisa tidur. Alia belum menentukan sikap pasti. Sejak tadi wanita itu menghubunginya karena sudah menunggu di apartemen sedangkan sulungnya Elora tak ingin pergi ke mana-mana, di sini lebih nyaman. 

Bisa saja Erlangga bertahan, tapi cara Alia masuk ke ranah pribadinya tidak sopan. Belum menjadi istri sudah berani mengambil tindakan, bagaimana kalau sudah menikah nanti apakah hak privasinya dicabut? Jika benar berarti wanita itu tidak mempercayainya lantas untuk apa sebuah hubungan jika tidak diawali saling percaya satu sama lain? 

Keputusannya sudah benar. Ia yakin hati Alia juga belum bermain terlalu dalam pada hubungan mereka, meski keduanya merasa kecewa. Dari hubungan ini, Erlangga bisa mengambil sebuah pelajaran tentang kekuatan sebuah hubungan. Syukur, ia belum melangkah terlalu jauh.

"Mas kok di sini?"

"Dingin di luar."

Kina tidak sanggup membuka mata, jadi dia mengingatkan Erlangga agar tidak bicara lagi karena gadis itu tidak bisa tidur lagi kalau pria itu ribut.

Ini bukan kali pertama tidur bersama dan  keadaan hati juga masih sama. Di luar hujan turun dengan deras membasahi bumi sementara dibalik selimut ada sepasang tangan bergenggaman saling menghangatkan. Mereka tidur, melepaskan penat setelah seharian bergelut dengan pikiran dengan perkara yang sama.

Dua orang yang berbeda telah hidup lama di satu atap yang sama namun jarang berselisih paham. Saling menghargai satu sama lain dan menjaga tanpa menguras pikiran. Sederhana sekali, tapi secuil rasa belum menyentuh hati mereka.

Tidak ada usaha keras saat melewati hari, karena semua sikap spontan tanpa dibuat-buat. Jika pernah berdebat pun bukan untuk masalah yang serius, dan terakhir karena Alia.

Lembut, basah dan sedikit menggigit. Apa yang dilakukan Erlangga? Sebentar, biar Kina merasakan dulu tindakan apa ini? Mata itu terpejam tapi rasa kantuk telah hilang akibat gerakan di bibirnya. Gadis itu bersyukur memiliki dua lubang hidung untuk bernapas selama bibirnya dibungkam oleh tuannya.

Di luar, ponsel milik Erlangga masih bergetar. Puluhan panggilan masuk terabaikan karena laki-laki itu sedang meyakinkan hati untuk sebuah kepemilikan tanpa memaksa. Dengan lembut dan menuntun hingga Kina bisa mengimbanginya. Ditutup dengan sebuah kecupan di kening, ia membawa anak gadis pak Sufyan dalam pelukannya.

❤️

Tinggalkan komen kalau mau lanjut Sayang

Wanita di ApartemenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang