Chapter 4 - Promise.

25 21 0
                                    

×ו××

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

×ו××

"Ada apa? Anda siapa?" tanya kembali Sofie.

Pria itu memberikan beberapa bungkus keresek makanan. "Saya pengantar makanan di daerah ini. Ini pesanan Anda," katanya ramah.

Sofie langsung menerima makanan itu dengan wajah kebingungan. Tak sempat bertanya lebih, pria pengantar makanan itu pergi dari sana usai berpamitan. Sejujurnya Sofie takut, tapi dia berusaha untuk berpikir baik-baik. Ketakutan tentang peneroran keluarga tiba-tiba datang di pikirannya. Sofie langsung masuk ke dalam untuk menghindari sesuatu yang lebih buruk.

Dengan ragu, Sofie membuka bungkus makanan itu. Dia dibuat terkejut dengan makanan yang berada di dalamnya bungkus keresek. Makanan di dalam berjumlah banyak. Sofie tidak mengetahui siapa yang mengirim makanan itu padanya. Sejujurnya ia sedikit takut, tapi dia harus makan malam, perutnya keroncongan sejak tadi. Tiba-tiba Sofie memiliki keinginan untuk membuang makanan pemberian orang asing itu. Aneh. Sangat mencurigakan.

Akan tetapi, tiba-tiba suara panggilan terdengar. Sofie ragu untuk menerimanya. Rankasa. Pria itu tidak ada perasaan takut pada Sofie. Tapi, jika panggilan dari Rankasa tidak diterima oleh Sofie, Rankasa akan terus menghubunginya, lalu kemungkinan besar, Rankasa akan datang. Dengan ragu-ragu, Sofie mengangkat panggilan telepon.

"Halo. Ada apa, Pasien?" tanya Sofie.

"Selamat malam, Dok. Jangan membuang makanan itu. Selamat makan, Dok," kata Rankasa dengan nada cepat.

Lalu, Rankasa langsung mematikan panggilan telepon. Dia tak ingin berbicara lama-lama dengan Sofie, tak ingin mendengar ocehan Sofie. Nadanya terdengar seperti tengah terburu-buru dan suara riuh terdengar dari belakang.

Sofie langsung melihat layar ponselnya. Wajahnya terlihat kebingungan. Perasaannya mengatakan jika Rankasa terlalu aneh baginya. Mengetahui jika pengirim makanan itu merupakan Rankasa, Sofie memutuskan untuk memakan makanan itu tanpa ragu-ragu. Perasaan selanjutnya yang dia rasakan adalah perasaan bahagia tanpa alasan.

Malam yang damai ini, Sofie diam di kamarnya menikmati makanan pemberian pria yang familier di matanya yaitu Rankasa. Rasa dari makanan itu sangat enak, tapi karena perasaan abu-abu tiba-tiba datang, makanan yang dia makan terasa hambar. Perasaan hambar membuat makanan yang Sofie makan ikut terasa hambar. Ingin rasanya Sofie mencaritahu tentang perasaan yang tengah dia rasakan, tapi dia tak mengetahui ingin mencaritahu dari mana.

Sofie terus melamun kala dirinya memakan makanannya. Tapi, tiba-tiba air matanya menetes tanpa alasan. Sofie dapat merasakan kala air matanya menetes membasahi pipinya. Sofie mengusapnya sekilas, membiarkan telapak tangannya basah. "Perasaanku tidak enak," gumam Sofie.

Tiba-tiba Sofie memiliki keinginan untuk menyalakan televisi. Televisi menyiarkan berita tentang kerusuhan di kota yang disebabkan oleh pemuda-pemuda berbaju hitam. Mereka semua berjenis kelamin laki-laki. Identitas mereka tidak diberitahu pada publik, tapi polisi berhasil menangkap mereka para pelaku. Entah mengapa saat Sofie memperhatikan setiap orang yang merupakan pelaku kerusuhan, Sofie terasa tak asing dengan bentuk tubuh mereka.

Pada awalnya, Sofie mengira malam hari ini adalah malam yang damai. Tapi, Sofie salah. Kali ini keberuntungan tidak berada di pihaknya. Tubuh Sofie berkeringat dingin kala Sofie teringat dengan Rankasa. Suara riuh yang berada di belakang Rankasa membuat Sofie berpikir tentang hal negatif tentang Rankasa. Sofie sangat mengingat jika Rankasa pernah bertemu kedua kali dengannya kala pria itu berada dalam kerumunan laki-laki lain yang bertopeng.

Buru-buru Sofie mengambil ponselnya. Dia langsung menghubungi nomor telepon Rankasa. Tapi, dia dibuat semakin khawatir kala Rankasa tak segera menerima panggilan telepon darinya.

Sofie terus menghubungi Rankasa hingga dua puluh panggilan yang tak terjawab. Nomor Rankasa aktif. Sofie berusaha untuk berpikir lebih jernih. Dua hal yang berada di pikirannya adalah Rankasa tengah tidak membawa ponselnya atau Rankasa memang tidak diberi persetujuan untuk mengangkat telepon.

Pikiran Sofie ke mana-mana, tidak bisa berpikir positif. Dia terus menghubungi Rankasa hingga lebih dari dua jam lamanya. Pukul 09.50 Sofie sempat menguap berkali-kali, tapi dia menahan rasa kantuknya hanya untuk terus menghubungi Rankasa. Panggilan dari Sofie tak segera dijawab oleh Rankasa. Sofie mulai meletakkan kepalanya yang sedari tadi ingin tidur di atas bantal.

Akhirnya ..., Sofie tertidur.

×ו××

Ponsel Sofie bergetar kala panggilan telepon masuk. Nama Rankasa Elandra tertulis di layar ponsel Sofie. Perasaannya tak enak, dia ragu untuk menerima panggilan telepon dari Rankasa. Tapi, Sofie khawatir dengan Rankasa. Sofie buru-buru menerima panggilan dari Rankasa dengan jantungnya yang berdetak kencang.

Suara Rankasa terdengar dengan suara riuh terdengar dari belakang. "Halo, Ibu Dokter Sofie. Maaf karena telat menerima panggilan dari kamu, Bu Dokter. Apakah Anda memiliki keperluan dengan saya? Apakah sakit kepala Anda kambuh lagi, Bu Dok?" Suara Rankasa terdengar. Dia terdengar seperti bertanya-tanya.

"Katakan padaku. Di mana posisimu? Dengan siapa?" tanya Sofie.

"Di ...." Rankasa terdiam sejenak, seperti tengah berpikir. "Di rumah saya dengan teman-teman kerja saya, Dokter. Ada apa? Apakah ada yang perlu saya bantu melakukan sesuatu atau sejenisnya?" kata Rankasa setelah terdiam. Terdengar jelas jika suara Rankasa terdengar ragu-ragu, seperti tengah berusaha berbohong.

"Cepat ke penginapanku," jawab Sofie.

"Lima jam lagi. Saya akan segera ke sana lima jam lagi. Mungkin kita bertemu di rumah sakit saja, di ruangan Anda. Sekarang saya ingin menyelesaikan pekerjaan kita," kata Rankasa. "Tapi, mungkin akan sedikit lebih lama."

"Bagaimana dengan tiga jam?" tawar Sofie.

"Lima jam," tolak Rankasa.

"Dua jam," tawar Sofie.

"Baiklah. Tiga jam. Saya berjanji akan ke ruangan pribadi Anda tiga jam setelah ini. Pada pukul jam delapan pagi. Sekali lagi, mungkin akan lebih dari itu. Tapi, saya berjanji akan datang ke tempat Anda. Sampai jumpa nanti, Ibu Dokter Sofie. Jangan lupa beristirahat," jawab Rankasa.

Usai berbicara, Rankasa langsung mematikan panggilan telepon.

Sofie tidak sempat berbicara. Sambungan telepon terlebih dahulu diputus oleh Rankasa. Sofie langsung berlari ke kamar mandi membawa handuk mandi. Dia harus segera mempersiapkan diri untuk pergi bekerja. Sofie harus datang lebih awal. Hatinya terasa begitu bahagia. Entah mengapa, dia tak sabar untuk bertemu dengan Rankasa.

×ו××

×ו××

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Elfie.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang