Chapter 37

10.9K 944 243
                                    

"BAPAK yakin?"

Pertanyaan itu menjurus saat Sentana tengah menatap penuh renung. Menatapi kertas berisikan rentetan kalimat yang berhasil meraih seluruh pasokan oksigennya secara mendadak. Sesak. Hanya itu yang bisa Sentana ucapkan saat ini.

"Artinya semua aset yang saya miliki setelah menikah dengan Mandala, bisa menjadi hak milik Mandala setelah kami bercerai?" namun, bukannya menanggapi pertanyaan dari sang pengacara yang tengah menatap khawatir kepadanya, Sentana justru mengajukan pertanyaan lainnya.

Menghela napas sesaat, pengacara yang duduk di hadapan Sentana itu sekali lagi menatap dengan tilikannya. Terlihat serius. "Maaf, pak, apa bapak yakin akan mengajukan gugatan ini? Saya bertanya berkali-kali seperti ini, karena sejak awal ketidakcocokan yang bapak sampaikan masih terlalu rancu untuk harus berakhir di meja hijau persidangan." dalam sekali tarikan napas ia berucap. "Apa tidak akan ada kemungkinan mediasi di antara bapak dan istri?" imbuhnya lagi.

Terdengar lancang, tentu saja, namun pernikahan bukan lagi sebuah hubungan sekedar yang dapat dipermainan segampang tarik-ulur. Pernikahan melibatkan ikatan kelewat sakral. Ada keyakinan nan hukum yang mendasari suatu pernikahan. Pun seseorang yang telah terikat dalam hubungan pernikahan adalah mutlak statusnya.

Dalam kasus Sentana, pengajuan gugatan yang dilontarkan pria itu terlalu abu-abu untuk berakhir dalam perceraian. Menurut Sentana, rumah tangganya tidak pernah mengalami yang namanya KDRT. Tidak juga dengan isu perselingkuhan. Dan pengakuannya saat melakukan pengajuan gugatan adalah, kurangnya komitmen di antara dirinya dan sang istri.

Adalah benar bahwa perbedaan komitmen dapat menjadi alasan mutlak suatu perpisahan.

Namun— kenyataan selanjutnya adalah— Sentana dan istrinya belum melakukan mediasi terkait tindak lanjut perpisahan di antara keduanya.

Terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa keduanya sepakat untuk berpisah. Sebab pasangan yang usai bertikai biasanya akan memerlukan waktu untuk merenungkan pertengkaran mereka. Setelah itu, biasanya akan tetap baik-baik saja jika permasalahan mereka buatu suatu hal yang major.

"Apa saya memerlukan mediasi dengan Mandala untuk penyerahan aset setelah perceraian ini?"

Akan tetapi, sepertinya Sentana tidak ingin masalah rumah tangganya ditelusuri terlalu dalam. Pria itu nampak lebih tertarik dengan dokumen pembagian harta yang juga ia ajukan di muka.

Sejak awal Sentana menekankan bahwa ia akan menyerahkan semua aset yang ia miliki setelah perpisahannya dengan sang istri.

Hanya bagian itu yang Sentana ungkapkan dengan penuh penekanan dan berulang-ulang kali.

Sisanya, semua terlalu rancu.

Pengacara itu memasang wajah jengah dengan hela napas beratnya yang meluruh. "Untuk perihal pembagian harta usai perpisahan harus disepakati oleh kedua belah pihak, bapak. Jadi bisa di mediasikan dengan Bu Mandala terlebih dahulu. Setelah itu, Bu Mandala juga harus melakukan tanda tangan dokumen sebagai bentuk persetujuan di antara pasangan yang akan bercerai."

Sentana mengangguk, mengerti. "Setelah semua ini, apakah masih ada kemungkinan gugatan yang diajukan bisa dibatalkan?" pertanyaan Sentana terdengar benar-benar berbeda kali ini.

Seolah dirinya sendiri sedang tidak meyakini penuh keputusan yang telah ia buat.

Entah impulsif, atau, didasari oleh kekecewaan yang begitu besar.

Tatapan yang sang pengacara tafsir dengan dugaan ; masih ada yang belum usai di antara keduanya. Dibalas dengan anggukan dan senyum terbuka, "Tentu saja. Tugas saya adalah menengahi klien. Apabila mediasi yang dilakukan berakhir dengan sebuah perbaikan hubungan, maka tidak menutup kemungkinan untuk melakukan rujuk." tanggapannya disampaikan dengan cepat.

Di Atas KastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang