50 ~ Obrolan pagi hari

13.7K 971 60
                                    

"KAKAK!"

Teriakan yang terdengar begitu keras di pagi libur yang indah ini membuat Daren langsung terbangun. Ia dengan berlari ke ruang tengah, sepertinya suara Hilma dari sana. "SAYANG? APA? KAMU DI MANA?" tanya Daren sambil mengumpulkan nyawanya yang masih terbang. Ia menuruni tangga bahkan dengan tergesa-gesa hingga melompati beberapa anak tangga sekaligus.

"LOVE!" teriak Daren lega saat menemukan punggung Hilma yang tengah bergerak. Wanitanya itu bahkan sambil menepuk tangan. Apa yang membuatnya berteriak? "Kamu kenapa teriak?"

"YAA! DAREN MATTHEW! PAKAI DULU CELANANYA!"

"Hah?" Daren dengan cepat menunduk, ia langsung menutupi miliknya yang layu dan langsung berlari lagi ke kamar. "Pantes gondal-gandul waktu lari," gumamnya kesal sendiri.

Dengan nafasnya yang terengah-engah ia langsung memakai celana pendeknya tapi dalaman dan kembali lagi berlari untuk menghampiri Hilma. "Sudah!" Lelaki itu berjalan langsung ke samping Hilma dan ia tersenyum saat jagoannya sudah bersih dan wangi.

"Kamu kenapa sih teriak-teriak? Aku jantungan!"

"Maaf, sampai gak sempet pakai sempak atau boxer gara-gafa teriakan aku." Hilma menyengir, ia menjawil bagian tubuh yang ada di tengah-tengah kaki Daren itu kemudian terkikik. "Gemes banget kalau lemes, gak ada sangar-sangarnya."

"Tangannya nakal banget!" ucap Daren kesal sambil menepuk punggung tangan Hilma. "Apa? Kenapa teriak?"

"Oh iya, gara-gara kontol aku lupa, maaf." Hilma membaringkan telentang Haraz, ia kemudian membiarkannya. "Liat."

"Apanya?"

Dengan kesal, wanita yang tengah menatap terang-terangan otot perut suaminya itu mencubit kotak-kotak di perut itu. "Kakak liatin aja dulu Haraz ih!"

Daren menahan kening Hilma dengan telunjuknya, menatap wanita itu dengan kening berkerut. "Terus kamu liatin perut aku?"

"Masalah emangnya?"

Daren menggeleng, ia membawa tangan Hilma ke perutnya namun tatapannya kembali ke jagoan kecilnya yang sudah berusia 3 bulan 3 minggu itu. "Apa yang kamu lakuin sampai bunda kamu teriak kayak gitu sih, dek?"

"Sabar. Orang sabar burungnya besar, panjang, lama keluar."

Dahi Daren kembali mengerut, ia menatap sang istri lagi. "Maksud kamu punya aku kurang besar, panjang, lama keluar gitu?"

"Enggak, suudzon banget!"

"Terus tadi apa?"

"Ya ... siapa tau bisa nambah."

Daren menyentil kening Hilma pelan. "Kalau nambah kamu jerit desahnya sampai bu Nina denger nanti."

"Kakak!" Fyi, bu Nina merupakan pemilik rumah paling ujung di deretan komplek rumah mereka. Rumah mereka berada di ujung depan dan rumah bu Nina berada di ujung belakang. Desahnya akan sekencang itukah?

"Punya aku ssgini aja kamu udah aahh aahh gak kuat aahh kakakhh gitu, gimana kalau nambah?"

Hilma mencubit kesal mulut Daren dan ia memberikan kode. "Gak usah aneh-aneh, ada Haraz."

"Sedikit aja desahnya kok. Jawab dulu, kalau punya aku nambah yang kayak kamu bilang gimana? Kamu bakal apa?"

Hilma menatap milik Daren sambil menggigit bibir bawahnya yang ia lepaskan dengan pelan. Tatapannya kemudian naik secara perlahan dan berhenti saat ia sudah bertatapan dengan Daren. "Aku? Aku bakalan cuma bisa desah, buka paha lebar-lebar, and maybe another squirting?"

"Kamu squirting dua kali aja habis itu udah mau pingsan, apalagi lebih?" Saat melihat mulut Hilma yang akan menjawab, gantian Daren yang menutup mulut itu dengan telapak tangannya. "Sstt, gak usah di jawab, gak bakalan ada habisnya."

My DarenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang