Bagian 41

102 20 0
                                    

Rintik hujan satu persatu menetes membasahi bumi. Membasahi tanah gembur yang baru saja ditimbun menjadi dua buah pusara yang berdampingan. Pusara dua sahabat yang memiliki jalinan begitu erat hingga mereka pun menemui ajal bersama.
“Ayo Hyun, sudah waktunya kita pulang.” Yeonjun mengajak pulang Taehyun yang masih duduk bersimpuh di depan pusara kakaknya. Ia berdiri memayungi Taehyun yang masih tidak ingin beranjak dan mengucapkan selamat tinggal kepada orang terkasihnya.
Taehyun hanya menatap kedua pusara dengan datar namun menyimpan jutaan luka. Luka lama yang kembali menganga dan meruntuhkan seluruh pertahanan hidupnya. Untuk kesekian kalinya Taehyun harus merasakan pedihnya menjadi orang yang ditinggalkan. Trauma mendalam kembali menyerang dan tak dapat dielakkan.

Mengapa Tuhan menggariskan takdir yang begitu tidak adil ini untuk Taehyun. Setelah ibunya meninggalkannya bagai barang tak berharga, ia harus menjalani hidup dengan pincang. Semua orang terdekatnya satu persatu menghilang.

Ayahnya, pengasuhnya serta para pekerja di rumahnya harus meregang nyawa di hari yang sama akibat ulah ibunya sendiri. Saat ia mulai dewasa ia juga harus kehilangan kekasihnya, Sunghoon. Dan kini Kai dan Heeseung yang ikut meninggalkannya. Tidak lupa paman Yoongi dan Beomgyu yang tak dapat berada di sisinya akibat dijebloskan ke penjara.

Sedangkan Yeonjun, sampai saat ini pun ia tidak dapat mengubah pandangan bahwa Yeonjun hanyalah salah satu sekretaris Kai yang tidak dekat dengannya. Bahkan selama ini ia hanya bertukar kata beberapa kali. Bukankah ini semua terasa canggung?

Berdiri tidak jauh dari makam, Soobin hanya memandang Taehyun dan Yeonjun tanpa berniat mendekat. Wanita paruh baya yang berada di sampingnya hanya diam dan memayungi Soobin melindunginya dari percikan rintik hujan. Ia mencoba menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan Soobin di balik tatapan mata datarnya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan?” Wanita itu akhirnya menyerah untuk sekedar menebak ketidakpastian.

“Sepertinya aku sudah salah melangkah, Bibi” sahut Soobin dengan tak sedikitpun melepas pandangannya ke arah Taehyun yang juga masih tidak beranjak dari posisi bersimpuhnya.

“Aku tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan, tapi aku harap tidak seburuk yang sudah Sunghoon lakukan. Berhentilah ikut campur dengan kehidupan Taehyun, dia sudah sangat menderita.” Wanita yang merupakan ibu Sunghoon itu melangkah pergi meninggalkan Soobin dengan perasaan kesal. Memikirkan tindakan bodoh seperti apa yang sudah Soobin lakukan terhadap Taehyun. Ia hanya tidak ingin Soobin mengalami hal buruk seperti yang sudah menimpa Sunghoon.

Langkah ibu Sunghoon terhenti saat terasa tangannya ditahan oleh Soobin. Soobin mengejar ibu Sunghoon yang sudah berjalan keluar dari area pemakaman. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada ibu dari sahabatnya tersebut.

“Bibi, aku mohon beri aku petunjuk apa yang sebenarnya sudah terjadi antara Taehyun dan Sunghoon di masa lalu. Aku mohon Bi, ceritakan semuanya padaku.” Soobin berucap lirih nan putus asa, mengharapkan setidaknya ada beberapa teka-teki yang terpecahkan.

Terdengar helaan nafas pelan dari ibu Sunghoon. “Baiklah, datanglah kerumahku malam ini, ada yang ingin aku tunjukkan padamu,” ucap wanita itu sebelum ia beranjak pergi dengan taksi yang dipesannya.

***

3 tahun yang lalu.

Sunghoon menyusuri jalanan kota dengan mobilnya di malam yang begitu pekat dan dingin. Pandangan matanya nampak tidak fokus ke arah jalan di depannya. Ia menoleh ke kiri dan kanan berharap menemukan sosok pria yang sedang dicarinya sejak tadi.

“Cepat temukan pelacur kecil ini sebelum ia mati membeku” itulah kalimat terakhir yang Sunghoon dengar sebelum sambungan teleponnya dengan seorang anak menteri terputus.

“Sialan!” Sunghoon berteriak, menangisi nasib buruk yang harus menimpanya. Merutuki kebodohan serta kegagalannya. Menyumpahi perbuatan anak-anak dari sampah masyarakat yang berkedok menteri yang membawa kekasihnya pergi.

“Tapi aku takut, Hoon.”
“Ayahku akan membunuhku jika dia tahu aku melakukan hal seperti ini.”
“Bagaimana jika aku ketahuan?”
“Bagaimana jika mereka membunuhku?”
“Bisakah kita pergi saja?”

Kalimat-kalimat penuh keraguan yang keluar dari mulut kekasihnya itu terngiang-ngiang di benak Sunghoon. Bagaimana dirinya dengan penuh percaya diri meyakinkan kekasihnya jika rencana mereka pasti akan berhasil. Ia berjanji akan melindungi kekasihnya dari hal-hal buruk yang akan dilakukan oleh targetnya.

Bodoh. Sunghoon merapalkan berulang kali kata ‘bodoh’ itu pada dirinya sendiri. Ia dengan bodohnya mengirim kekasihnya yang tidak tahu apapun ke sarang serigala. Menjadikan pemuda cantik nan lugu sebagai seorang pria penghibur demi memata-matai empat anak menteri yang sedang berpesta narkoba di ruangan rahasia sebuah klub vip.

Nyatanya rencananya tidak semulus yang Sunghoon kira. Keempat anak menteri itu tidak berhasil ia kelabuhi dan naasnya kekasihnya menghilang sudah hampir 24 jam lamanya. Malam bertemu malam Sunghoon lewati dengan mencari kekasihnya yang bahkan tidak terendus jejaknya.

Sementara di tempat lain, tepatnya di sebuah jembatan yang melintang di atas sungai besar. Seorang pemuda terbaring lemah tidak berdaya di tepi jalan. Udara dingin menusuk permukaan kulitnya yang hanya dibaluti pakaian yang sudah compang-camping. Tak hanya pakaiannya, tapi sekujur tubuhnya pun penuh dengan luka dan lebam.

Matanya yang perlahan terbuka hanya mampu menatap nanar baja pembatas. Air mata di pelupuk matanya kembali menetes, walau sedikit namun tetesannya mampu mewakili hancurnya jiwa dan raganya. Bayangan-bayangan kelam kembali berputar, menyajikan segala rasa sakit yang harus ia terima sebelum ia terbaring di aspal yang dingin.

Siapa sangka jika hidupnya akan berakhir seperti ini. Misi memata-matai target operasi kekasihnya gagal, justru sebuah suntikan obat terlarang yang ia terima. Ia tidak mampu melawan saat ia diseret oleh keempat targetnya ke dalam sebuah ruangan rahasia di balik dinding kaca. Ia hanya mampu menangis saat tubuhnya diruda-paksa bergiliran tanpa belas kasihan.

“Sayang sekali kekasih bodohmu itu tidak dapat menyaksikan kami menikmati ‘hadiah’ yang ia kirimkan” bisik salah seorang anak menteri sembari menyaksikan Sunghoon yang kebingungan mencari keberadaan mereka di balik dinding kaca dua arah tersebut.

Dengan tenaga yang tersisa, pemuda itu merangkak dan meraih pembatas jembatan. Tidak ada lagi cara yang dapat ia pikirkan untuk mengakhiri pedihnya penderitaan yang ia alami. Kaki jenjangnya satu persatu mulai berpijak pada ruas pagar jembatan. Tangan lemahnya yang bergetar ia eratkan di setiap ruas demi menopang bobot tubuhnya yang memanjat semakin ke atas.

“Taehyun! Jangan lakukan ini!” Sunghoon menarik turun tubuh Taehyun dari atas pagar jembatan. Mereka berdua sontak terjatuh ke tepi jalan dengan Sunghoon yang memeluk erat tubuh kekasihnya.

Taehyun menjerit, berusaha melepaskan diri. “Jangan menyentuhku, bajingan!”

Sunghoon melepaskan pelukannya, ia menatap mata kekasihnya yang menatapnya dengan penuh kebencian. Taehyun merangkak mundur lalu menangis kencang. Taehyun begitu terluka akan kekasihnya yang tak mampu menepati janjinya. Mendorong dirinya ke dalam mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan.

“Hyun, maafkan aku sudah gagal melindungimu. Tapi aku mohon ikutlah denganku, mari kita obati dulu lukamu. Setelah itu kamu bisa membunuhku, aku janji tidak akan lari.” Sunghoon memohon agar Taehyun mau menyambut uluran tangannya dan ikut dengannya. Bagaimana pun juga Taehyun harus diberi pertolongan.

“Luka ini terlalu banyak, bahkan disini,” Taehyun memukul-mukul dadanya yang terasa begitu sesak. “Lebih baik aku mati, aku tidak sanggup menanggungnya.”

Taehyun kembali bangkit dan ingin melanjutkan rencana bunuh dirinya yang sempat gagal. Sunghoon menahan Taehyun sekuat tenaganya sampai Taehyun tak mampu lagi memberontak. Perlahan tubuh Taehyun melemah, jatuh pingsan kehabisan tenaga. Lalu Sunghoon membawa Taehyun ke mobilnya dan melaju menuju rumah ibunya.

*To Be Continued*

TRAP | Soobtyun (On Going)Where stories live. Discover now